Kamis, 23 Desember 2010

011 Muslimah Juga Wajib Beramar Ma'ruf dan Nahi Munkar

(Rinaldi Fahrial Fanani)

Salah satu prinsip Islam yang juga harus dilakoni seorang wanita muslim adalah menunaikan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Muslimah yang taat senantiasa menyadari pentingnya maksud firman Allah:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Dalam ayat yang diturunkan Allah sekitar lima belas abad silam itu, wanita bisa mendapatkan dirinya dalam sebuah status dan apresiasi sosial yang luhur. Islam mengakui integralitas humaniter wanita, kemuliaan, serta kesempurnaan kepemilikan hak dan kemerdekaannya. Tidak dapat perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik dalam jual-beli, kepemilikan, dan pernikahan.

Pun demikian, Islam –melalui ayat di atas— juga meniscayakan seorang muslimah untuk terlibat dalam proses amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan diberikannya kewajiban amar ma’ruf-nahi munkar kepada muslimah, Islam telah menganugerahkan status sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Kaum wanita dibebani tanggung jawab dan amanat yang setara dengan kaum laki-laki. Dengan tanggung jawab dan amanat itu, keduanya diharapkan dapat membangun tatanan kehidupan islami yang lebih baik.

Jadi, selain mendeklarasikan egaliter (persamaan) laki-laki dan wanita di hadapan Allah SWT dalam memperoleh kemuliaan dan rahmat-Nya, Islam juga memerintahkan keduanya untuk bahu-membahu dalam menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sunnah Rasulullah SAW juga menguatkan hal tersebut. Beliau bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Mengomentari hadits tersebut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati), tidaklah menancap keimanan (di dada seseorang) sampai seseorang mukmin itu mau melakukannya. Mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan. Maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan.” (Majmu’ Fatawa, 7/427).
…menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan karakter orang beriman, baik laki-laki maupun wanita…

Hadits dan perkataan Ibnu Taimiyah di atas menjelaskan bahwa menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan karakter orang beriman (baik laki-laki maupun wanita), dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.

Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya –sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas. Dalam hal ini, seseorang yang melihat suatu kemungkaran, maka dia wajib mengubahnya dengan tangan jika dia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti menindak dengan senjata. Seperti dinyatakan Imam Ahmad bin Hanbal, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Ibnu Muflih, dalam Al-Adab Asy-Syar’iyah, 1/185)

Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan lebih lanjut ketika Imam Al-Marrudzi bertanya kepadanya, “Bagaimana menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran?” Dia menjawab, “Dengan tangan, lisan, dan dengan hati; ini paling ringan.” Imam Al-Marrudzi bertanya lagi, “Bagaimana dengan tangan?” Dia menjawab, “Memisahkan di antara mereka.” Lantas Imam AL-Marrudzi melihat Imam Ahmad bin Hanbal melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu memisahkan di antara mereka.

Sementara mencegah dengan lisan terejawantah dalam memberikan nasihat yang merupakan hak sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri. Atau dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.

Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci setiap kemungkaran dan kemaksiatan. Ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barangsiapa yang tidak mengingkari kemungkaran –minimal— dengan hatinya, maka dia akan ‘binasa’.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2/258)
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.”

…Ibnu Mas’ud berkata, binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran…
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2/258-259)

Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah RA tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, no. 37577)

Maka jelas, seorang muslimah pun dituntut untuk berpartisipasi dalam amar ma’ruf nahi munkar. Muslimah diberi kewajiban untuk melakukan penyadaran kepada siapa saja yang melakukan kemungkaran, baik dengan memberi nasihat, mengkritik secara santun, dan lainnya.

…jangankan kemungkaran dan kemaksiatan, kekeliruan sekecil apa pun harus diluruskan oleh setiap muslim dan muslimah…

Sejarah pernah menegaskan bahwa, jangankan kemungkaran dan kemaksiatan, kekeliruan sekecil apa pun harus diluruskan oleh setiap muslim dan muslimah. Muslimah yang melakukan pengorbanan, melontarkan kritik, serta mengeluarkan pendapat demi meluruskan kekeliruan adalah ucapan muslimah yang memiliki kepribadian dan identitas keislaman kuat. Dia tidak akan ragu meluruskan kekeliruan atau mencegah kemungkaran, meski harus berhadapan dengan para penguasa sekalipun.

Hal tersebut pernah terjadi ketika seorang muslimah mendengarkan pidato Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab. Dalam pidatonya, Umar melarang pemberian mas kawin secara berlebih-lebihan dan menyerukan untuk membatasi mas kawin dalam jumlah tertentu.

Lantas muslimah itu menampakkan diri seraya berkata, “Anda tidak berhak menentukan hal itu, wahai Umar!” Umar pun kemudian bertanya, “Mengapa?” Wanita itu pun menjawab, “Karena Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa’ 20).

…Muslimah yang melontarkan kritik serta mengeluarkan pendapat demi meluruskan kekeliruan adalah ucapan muslimah yang memiliki kepribadian dan identitas keislaman kuat…

Akhirnya Umar bin Al-Khatthab berkata, “Wanita itu benar, dan Umar salah.” Umar dengan legowo mengatakan hal itu setelah dengan saksama mendengarkan ucapan muslimah tadi. Seperti diketahui, Umar merupakan kepala negara, khalifah kaum muslimin, penakluk pasukan Persia dan Romawi, serta sahabat Rasulullah paling disegani oleh kawan maupun lawan, bahkan setan pun lari terbirit-birit jika berpapasan dengannya.
Dan yang terpenting, muslimah tadi tidak akan pernah berani menentang dan mengkritik Umar kalau bukan karena kesadaran dan pemahaman apiknya terhadap Islam yang telah memberikan hak mengeluarkan pendapat dan hak amar ma’ruf nahi munkar kepadanya. Wallahu ‘Alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar