Kamis, 22 September 2011

Modul 6: Mengenal Manusia (Ma'rifatul Insan)

1.1 Definisi (ta’rif) Insan
Manusia dapat didefinisikan sebagai makhluk Allah SWT yang terdiri dari ruh dan jasad yang muliakan Allah SWT dengan posisi sebagai khalifah di muka bumi dan bertugas untuk mengabdi kepada-Nya.

1.2 Hakekat Insan (Manusia)
Manusia itu terdiri dari ruh dan jasad. Dan ruh yang hidup dalam daging dan tulang-belulang, ia memiliki nilai lebih besar daripada seluruh alam kebendaan. Meskipun ruh dan jiwa berkaitan dengan jasad yang berupa benda, namun adanya manusia adalah berkat adanya ruh. Dan ruh adalah asal dan sumber kepribadian manusia, seolah-olah seluruh alam wujud ini diciptakan Allah SWT untuk membentuk manusia agar dapat mengenal hakekat dirinya.

Ruh manusia itu berasal dari alam arwah (alam yang hakikatnya tidak dapat diketahui oleh manusia di mana tempatnya), sedangkan jasmani berasal dari tanah. Setelah keduanya digabung menjadi satu, manusia dimasukkan ke alam yang ke dua yaitu alam rahim (alam kandungan). Setelah terlahir dari perut ibunya, manusia memasuki alam ke tiga yaitu alam dunia (alam fana). Di alam dunia ini manusia akan tinggal untuk sementara sesuai dengan jatah umur yang diberikan oleh Allah SWT.
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنفُسِهِم مَّاخَلَقَ اللهُ السَّمَاواتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَآ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمَّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ بِلِقَآئِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ.
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabbnya. (QS. Ar-Rum (30) : 8).
Kemudian setelah manusia mati, baik secara husnul khatimah maupun suul khatimah, ia akan memasuki alam ke empat, yaitu alam kubur (alam barzakh). Di alam ke empat ini manusia akan tinggal sampai tiba hari kiamat atau hari kebangkitan (yaumul ba’ts). Setelah dibangkitkan kembali, manusia akan memasuki alam yang ke lima yaitu padang Mahsyar. Dan di padang Mahsyar inilah semua manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Apabila ia berbuat baik selama hidupnya, maka surgalah bagiannya, dan apabila selama hidupnya banyak berbuat maksiat, maka nerakalah yang akan menjadi tempat kedudukannya. Surga dan neraka adalah alam yang ke enam setelah alam Mahsyar.
Islam menghendaki supaya manusia, selama hidup di dunia selalu berada pada martabat yang luhur. Islam memandang, bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki roh, akal dan hati. Islam juga hendak meningkatkan manusia dari makhluk yang hanya memiliki rasa indra seperti alam tumbuh-tumbuhan, alam hewani dan terus meningkatkannya, sehingga menjadi makhluk yang berakal, berperasaan dan rasa indra. Islam menghendaki, agar manusia menjadi anggota yang berdaya guna bagi masyarakatnya.
Dengan akal yang dimilikinya, dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya dimuliakan karena ia berbeda dari makhluk yang lainnya, akan tetapi ia dimuliakan karena kualitas kehidupannya di dunia. Kualitas kehidupan manusia tersebut, ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pengabdiannya kepada sang pencipta, Allah SWT; karena pada dasarnya manusia diciptakan hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Semakin baik pengabdiannya kepada Allah SWT, maka ia akan semakin baik dan mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Akan tetapi apabila manusia itu tidak sanggup memerankan sebagai hamba Allah yang baik yang selalu meningkatkan pengabdian kepada-Nya, maka ia akan lebih hina sekalipun harus dibandingkan dengan makhluk Allah yang bernama hewan.
Oleh karena itu, maka sudah seharusnya sebagai manusia yang beriman mengoptimalkan anugerah Allah SWT berupa pendengaran, penglihatan dan hati untuk mendengar, melihat dan memahami ayat-ayat Allah SWT, agar keimanan senantiasa bertambah, sehingga terus bersemangat untuk membelkali diri dengan ketakwaan atau pengabdian kepada Allah SWT dalam rangka menyongsong kehidupan yang abadi di akhirat kelak dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.

Sesungguhnya, tidak ada lagi perbekalan yang akan meninggikan derajat manusia di dunia dan di akhirat kelak, kecuali bekal ketakwaan, sebagaimana firman Allah SWT,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah (2) :197)

1.3 Potensi Manusia (Thaqatul insan)
Di antara potensi-potensi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia adalah :

1.3.1 Pendengaran, Penglihatan dan Hati
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl (16) :78)

1.3.2 Akal
Di antara semua makhluk yang ada di dunia, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, baik dari segi fisik maupun pemikiran. Makhluk yang mendekati kesemurnaan manusia adalah hewan, namun ia hanya sanggup mendekati tidak mungkin menyamai kesempurnaan manusia.

Kesempurnaan manusia adalah karena manusia diberi akal oleh Allah SWT, sehingga ia memiliki kemampuan untuk memahami siapa dirinya, dan siapa Allah SWT dan untuk sebenarnya ia diciptakan, di mana dengan pemahaman ini akan menghantarkannya kepada kemuliaan yang sesungguhnya, dan bukan hanya mulia dari sisi penciptaannya saja.

1.3.3 Jasad
Jasad atau anggota tubuh merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh manusia, untuk membuktikan keimanan dan keislamannya dengan perbuatan. Apa yang telah dilihat oleh hamba, didengar dan difahami dengan akalnnya dari syriat Islam melalui ayat-ayat Allah SWT, kemudian ditentukan oleh hatinya mana yang harus dipilih dan dilakukan, maka giliran jasadlah selanjutnya untuk membuktikan dengan perbuatan.

Dengan demikian sesungguhnya potensi yang diberikan kepada manusia sudah sangat sempurna, tinggal bagaimana manusia itu mengoftimalkan potensi tersebut untuk menjadi manusi yang paling mulia baik didunia ataupun diakhirat kelak dihadapan mahkamah Allah SWT.

1.4 Hakekat Ibadah

1.4.1 Makna Ibadah
Para ulama tauhid dan ulama ushul fiqh meberikan definisi ibadah, bahwa ibadah adalah sebuah nama atau sebutan untuk segala sesuatu, baik ucapan ataupun perbuatan, yang dicintai dan diridloi oleh Allah SWT baik yang nampak ataupun tidak. Ibadah adalah suatu cara untuk mensucikan jiwa dan amal perbuatan manusia, dan ia merupakan prilaku atau tata cara kehidupan seseorang berdasarkan keikhlasan hati sambil mengharap rahmat dan keridlaan Allah Ta’ala.

Mereka mengklasipikasikan ibadah menjadi dua bagian, yaitu ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah yang dikerjakan secara langsung berhubungan dengan Allah, seperti shalat, shaum dan haji. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah ibadah yang tidak berhubungan langsung dengan Allah SWT, namun ada hubungannya dengan manusia terlebih dahulu, seperti zakat, infaq dan shadaqah.

Pada dasarnya, ibadah dalam pandangan Islam memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga ia bukan hanya shalat, shaum, zakat atau haji, akan tetapi segala aktifitas kehidupan yang akan menghantarkan manusia kepada kecintaan dan keridlaan Allah SWT diluar rukun Islam yang disebutkan tadi seperti tolong-menolong, berdakwah, mengajarkan Al-Qur’an, melakukan pembinaan terhadap generasi muda dan lain sebagainya, itu semua dikatagorikan ibadah.

1.4.2 Rukun-rukun Ibadah
Pertama, kecintaan yang utuh terhadap al-Ma’bud (Allah SWT). Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)

Kedua, pengharapan yang sempurna terhadap al-Ma’bud (rahmat-Nya). Allah SWT berfirman,
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا.
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa` (17) : 57)

Ketiga, rasa takut yang sangat terhadap al-Ma’bud (dari adzab-Nya). Allah SWT berfirman,
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا.
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa` (17) : 57)

1.4.3 Syarat diterimanya Ibadah
Ibadah tidak akan diterima, kecuali memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama, Ikhlas dalam melakukan ibadah semata-mata mengharap ridla Allah SWT.
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima ibadah seorang hamba, kecuali ibadah tersebut dilakukan dengan penuh keikhlasan, hanya untuk mendapatkan keridlaan-Nya. Ketika seorang hamba melakukan suatu ibadah, tetapi niat yang ada di dalam hatinya adalah riya (ingin dilihat orang lain), atau sum’ah (ingin didengar), atau ingin dikatakan pahlawan, sehingga banyak disebut-sebut orang dan lain sebagainya, itus semua merupakan indikasi ketidak-ikhlasan dalam melakukan suatu ibadah. Oleh karena itu, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, agar kita tidak melakukan ibadah, kecuali semata-mata mengharap keridlaan-Nya.

وَمَآأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama ..(QS. Al-Bayyinah (98) : 5)
Kedua, mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Syarat yang ke dua untuk diterimanya suatu ibadah adalah, bahwa ibadah tersebut harus sesuai dengan apa yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah SAW; karena Allah SWT tidak akan pernah menerima suatu ibadah kecuali sesuai dengan contoh Rasulullah SAW.
Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, karena hal itu tidak dapat dibenarkan menurut syari’at. Ketika kita melaksanakan shalat-shaum, zakat dan haji harus senantiasa berdasarkan contoh Rasulullah SAW; jika tidak maka kita hanya akan mendapatkan capeknya saja. Hal itu pernah digambarkan oleh Baginda Rasulullah SAW, ada di antara umat Islam yang shalatnya hanya membuahkan capeknya saja dan ketika mereka shaum, hanya mendapatkan lapar dan dahaganya saja.

Dalam realita kehidupan beribadah di tengah-tengah masyarakat, bahkan di kalangan para santri dan santriwati, terkadang muncul sebuah pernyataan, aku melakukan ibadah seperti ini karena guruku juga melakukannya, atau karena ustadz fulan juga membolehkannya, atau keluargaku sudah turun-temurun melakukan ibadah dengan cara seperti ini.

Prinsip melakukan ibadah seperti itu, tentunya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah SWT tetapkan, bahwasannya, bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, karena beliau sebagai utusan Allah, memiliki tugas menyampaikan sekaligus menjelaskan risalah Allah SWT, termasuk juga menjelasakan permasalahn ibadah, oleh karena itu, ibadah yang dilakukan oleh seseorang tanpa berdasarkan kepada contoh Rasulullah SAW, walaupun berargumentasi dengan menyebut, unstadznya, orang tuanya, ataupun siapa saja, sebenarnya itu semuanya merupakan bentuk taklid buta dengan tanpa mengetahui dasar –dasar yang sesungguhnya dari Rasulullah SAW.

1.4.4 Tujuan Ibadah
Ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya memiliki tujuan :
Pertama, untuk memperlihatkan perasaan hina di hadapan Allah SWT, sehingga diharapkan muncul dalam dirinya sebuah prinsip, bahwa Allah lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mulia. Dan seorang hamba tidak dibenarkan untuk bersikap sombong; karena pada dasrnya, tidak ada seorang hambapun yang paling mulia dihadapan Allah SWT, apapun bangsanya, warna kulitnya, ataupun kedudukannya, semuanya tidak akan menjadikannya mulia di hadapan Allah SWT, kecuali dibarengi dengan kualitas ketakwaan yang sesungguhnya (melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya).
Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuraat (49) :13)

Kedua, memperlihatkan rasa cinta yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Rasa cinta merupakan anugerah dari Allah SWT, oleh karenanya, harus senantiasa disyukuri dan diarahkan atau diporsikan sesuai dengan kehendak Dzat Yang Memberikannya.

Doktor A’id Al-Qarni mengatakan,”Cinta itu secara umum dibagi kepada dua katagori, yaitu, cinta yang bersifat fitrah, seperti cinta kepada harta, anak, orang tua, lawan jenis dan lain sebagainya. Semua itu tidak membutuhkan upaya untuk memunculkan rasa cinta kepadanya. Dan yang ke dua adalah cinta yang harus diusahakan (mahabbah muktasabah), yaitu kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kecintaan tersebut, adalah kecintaan yang paling tinggi derajatnya; karena kecintaan yang seperti ini membutuhkan perjuagan atau pengirbanan dalam mewujudkannya, bahkan kecintaan yang sifatnya fitrah, walaupun secara syari’at tidak dilarang, akan tetapi tidak boleh menghalangi kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya harus senantiasa dinomor-satukan; sebab sikap seperti adalah ciri has daripada orang-orang yang beriman. Ketika seorang hamba lebih mengedepan kecintaan fitrahnya daripada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti lebih mencitai harta, kedudukan, pekerjaannya dan lain sebagainya.maka itu semua merupakan fenomena kelemahan iman. Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)

Ketiga, memperlihatkan rasa takut kepada Allah SWT (dari adzab-Nya), dan memperlihatkan pengharapan yang seutuhnya kepada rahmat-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hamba Allah SWT selalu dibarengi dengan dua perasaan, yaitu perasaan takut dan berharap. Namun demikian, bagi seorang hamba yang selalu istiqamah untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, tentunya rasa takut tersebut akan dapat dihindarkan, ia akan selalu memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini, kecuali terjerembabnya diri ke dalam kemaksiatan; karena ketika itu terjadi, berarti adzab Allah lah yang akan menimpa dirinya.

Bagi seorang yang beriman, tidak ada lagi yang ditakuti dalam hidunya, kecuali adzab Allah SWT, dan adzab itu akan menimpa disebabkan oleh perbuatan maksiat kepada-Nya. Maka ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya merupakan implementasi dari rasa takut akan adzab Allah SWT, dan sekaligus akan menghantarkan hamba kepada rahmat Allah SWT yang selalu diharapkan sepanjang hidupnya.

Sesungguhnya, tidak ada kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, kecuali ketika seorang hamba selalu berada dalam rahmat dan maghfirah Allah SWT yang diraih dengan sikap istikomah dalam keimanan, perubahan ke a rah yang lebih positip dan selalu memohon ampun ketika lalai, juga berupaya keras untuk tetap berada dijalan Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2) :218)

Keempat, memperlihatkan rasa syukur yang mendalam terhadap semua ni’mat Allah SWT yang telah diberikan.
Pengakuan dan kesadaran akan ni’mat Allah SWT dalam kehidupan, akan mendorong seorang hamba untuk mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada Allah SWT yang telah memberikan semua ni’mat-Nya, karena seorang hamba tidak akan bisa terlepas dari ni’mat tersebut. Ini berarti bahwa seorang hamba akan selalu membutuhkan Allah SWT, karena Dialah yang maha pemberi ni’mat. Dengan demikian diharapkan hambapun akan selalu berupaya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pemberi ni’mat itu.
Allah SWT Dzat yang telah memberikan ni’mat menuntut dari hamba-Nya agar selalu bersyukur atas ni’mat tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa bersyukur yang sesungguhnya atas ni’mat adalah menggunakan ni’mat tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan untuk membuktikannya tidak ada cara lain kecuali dengan beribadah kepada-Nya, sehingga segala sesuatu yang telah Allah anugrahkan harus digunakan dalam rangka meraih keridloan dan kecintaan Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan hidup diakhirat.

Allah SWT berfirman.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash (28) : 77

1.5 Kisah Teladan Seputar Ma’rifatul Insan
Dalam Al-Qur’an dikisahkan mengenai kehidupan seorang Nabi Allah yang bernama Yusuf bin Ya’qub ketika ia berada di lingkungan istana tempat di mana ia dirawat dan dibesarkan. Yusuf adalah seorang nabi yang sangat tanpan, sehingga dengan ketampanannya, istri majikan yang merawatnya sampai tergoda dan tergila-gila olehnya.
Pada suatu ketika istri majikannya bermaksud menggoda Yusuf untuk melakukan perbuatan tidak senonoh dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengannya, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya, seingga ia berpaling dari kemungkaran dan kekejian tersebut.

Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan istri majikannya itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka pintu. Wanita itu berkata:"Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih". Yusuf berkata:"Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)",
Dalam pada itu, seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya:"Jika baju gamisnya koyak di muka, maka istri majikannya itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka istri majikannya itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar".

Maka tatkala majikan Yusuf itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia:"Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar". Selanjutnya majikan Yusuf berkata,”(Hai) Yusuf :"Berpalinglah dari ini, dan kamu hai isteriku mohon ampunlah atas dosamu itu kepada Allah; karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah".
Kejadian tersebut diam-diam telah tersiar ke luar istana, sehingga wanita-wanita di kota berkata:"Isteri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata".

Maka tatkala istri majikan yusuf mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf):"Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata:"Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia".

Singkat cerita, Yusuf pun dipenjarakan oleh majikannya, namun hal itu tidak membuat Yusuf bersedih atau berontak, akan tetapi ia segera memohon kepada Allah SWT,"Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".
Dari kisah tersebut, dapat diambil hikmahnya, bahwa secara fitrah memang manusia memiliki kecendrungan untuk melakukan hal-hal yang menurut perasaan dan hawa nafsunya baik lagi menyenangkan. Seandainya tanpa ada bimbingan wahyu dan kecerdasan akalnya, maka sudah barang tentu hawa nafsu tersebut sudah terlampiaskan, meskipun sudah diketahui dampak atau akibat yang ditimbulkannya.

Manusia dituntut agar senantiasa menggunakan akalnya dengan baik, senantiasa memikirkan akibat baik dan buruk dari suatu amal yang hendak dilakukannya, agar supaya tidak menyesal dikemudian hari. Dan disamping itu, ia tidak lupa untuk selalu memohon pertolongan dan hidayah Allah SWT.

Yusuf adalah sosok manusia yang cerdas dalam berfikir, tidak terburu-buru dalam menentukan sikapnya; karena ia menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menjadikannya menyesal seumur hidup. Dengan kesabaran dan kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu bangkit menjadi orang yang terpandang di tengah-tengah masyarakat banyak dan kisahnya senantiasa dikenang sepanjang masa. Wallahu A’lam bish-Shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar