Sabtu, 24 September 2011

Modul 13: Menjaga Lisan (Hifdzul Lisan)

Sesungguhnya lisan itu bisa menjadi sumber hikmah, akan tetapi bisa juga menjadi sumber petaka bagi pemiliknya dan bagi orang lain, berapa banyak orang yang berubah menjadi lebih baik dikarenakan tutur kata seseorang yang mengandung hikmah dan taushiah, akan tetapi tidak jarang pula terjadinya perselisihan dan pertengkaran gara-gara perkataan lisan yang tidak terpelihara. Oleh karenanya menjaga dan memelihara lisan merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam, sehingga setiap kata yang terlontar dari lisannya selalu membawa hikmah dan faidah, ketika lisan itu tidak dikendalikan, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya fitnah, oleh karenanya Allah SWT berfirman dalam surat al-Israa` ayat 53 yang isinya menyuruh kita untuk senantiasa menggunakan lisan untuk mengatakan yang paling baik.

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا.
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:"hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al-Israa` (17( : 53)

Ketika seseorang hawatir terhadap perkataannya, maka lebih baik baginya untuk berdiam diri, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata baik, atau kalau tidak bisa berkata baik, maka lebih baik baginya untuk berdiam diri”(HR. Bukhari Muslim)

Dari sesuatu yang paling penting yang dituntut oleh Allah SWT dalam penggunaan lisan ini, hendaknya kita menggunakannya untuk menyeru manusia kepada yang baik, menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Atau menggunakannya dalam rangka mengishlahkan dua pihak yang bertikai dan saling berwasiat dengan kebaikan dan ketakwaan. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali Imran (3) : 104)

لاَخَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا.
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An-Nisaa` (4) : 114)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلاَتَتَنَاجَوْا بِاْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul.Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan taqwa.Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamau akan dikembalikan.(QS. Al-Mujadilah (58) : 9)

1.1 Hal-Hal yang Membahayakan Lisan
1.1.1 Membicarakan Sesuatu Yang Tidak Bermanfaat

Di antara ciri khas Muslim sejati adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk di dalamnya perkataan, seperti : berbohong, ghibah, mengadu domba, berbantah-bantahan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ.
Sebaik-baik Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.(HR. Bukhari Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan yang lainnya)

Umar r.a berkata,”Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak bermanfaat, jauhilah musuhmu dan hati-hatilah terhadap temanmu kecuali yang dapat dipercaya. Dan tidak ada teman yang dapat dipercaya kecuali yang takut kepada Allah, janganlah berteman dengan orang yang jahat, karena kamu akan terbawa, dan hendaklah meminta nasihat dalam urusanmu dari orang-orang yang takut kepada Allah SWT.

Adapun batasan perkataan yang tidak bermanfaat adalah, perkataan yang apabila kamu tidak mengatakannya, maka kamu tidak akan berdosa, dan tidak akan menimbulkan bahaya, baik sekarang maupun dikemudian hari.

Agar bisa menghindarkan diri dariperkataan yang tidak bermanfaat, hendaknya seseorang senantiasa mengingat, bahwa kematian selalu membuntutinya, dan bahwasannya ia akan mempertanggung-jawabkan setiap apa yang diucapkannya. Sesungguhnya nafas yang ia hembuskan tak ubahnya bagaikan modal bagi dirinya, dan lisan yang dimilikinya adalah sebagai alat untuk meraup pahala melalui parkataan yang baik. Dan apabila disia-siakan, niscaya akan menghantarkannya kepada kerugian yang nyata.

1.1.2 Ucapan-Ucapan yang Berlebihan
Mengatakan sesuatu yang menjadi kepentingan seseorang, maka ia boleh untuk mengatakannya, akan tetapi dengan syarat tidak berlebih-lebihan, melainkan disampaikan dengan perkataan yang sesederhana mungkin, tanpa mengurangi kepentingan yang dimilikinya.

Ibrahim At-Taimi mengatakan,”Apabila seorang Mukmin hendak berbicara, maka seyogyanya ia melihat terlebih dahulu apa yang akan dikatakannya. Apabila bermanfaat dan tidak berlebihan, maka katakanlah. Namun apabila tidak bermanfaat, maka hendaknya ia menahan lisannya”.

Al-Hasan mengatakan,”Barangsiapa yang banyak bicara (berlebih-lebihan) ditakutkan akan banyak bohongnya. Barangsiapa yang banyak hartanya, ditakutkan banyak dosanya, dan barangsiapa yang jelek akhlaknya, berarti ia telah mengadzab dirinya.”
Pernyataan-pernyataan di atas, mengandung makna anjuran untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan lisan, sehingga sebelum berbicara selalu dipertimbangkan terlebih dahulu manfaat dan madharatnya.

1.1.3 Larut dalam Kebatilan
Larut dalam kebathilan, maksudnya adalah menggunakan lisan untuk perkataan-perkataan yang maksiat, seperti membicarakan keadaan perempuan, minum-minuman, nyanyian-nyanyian yang berbau syahwat dan lain sebagainya. Semuanya termasuk dalam katagori hal-hal yang diharamkan. Adapun perkataan yang berlebihan dan tidak mengandung kepentingan di dalamnya, meskipun tidak dikategorikan haram, namun sebaiknya tidak dilakukan.

Nabi SAW bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ خَطَايَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ خَوْضًا فِى البَاطِلِ.
Manusia yang paling besar kesalahannya di hari kiamat adalah mereka yang paling banyak larut dalam kebathilan.(HR. Thabrani, dari Qatadah secara Mursal).

Terhadap makna tersebut, Allah SWT telah mengisyaratkan dalam firman-Nya yang terkait dengan ahli neraka, mereka berkata,
وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ.
Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, (QS. Al-Muddatssir (74) : 45)

Dan firman-Nya,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam, (QS. An-Nisaa` (4) :140)

Salman berkata,”Manusia yang paling banyak dosanya pada hari kiamat adalah, mereka yang paling banyak berbicara dalam kemaksiatan kepada Allah.”

1.1.4 Bertengkar dan Berdebat
Pertengkaran dan perdebatan merupakan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda,
لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدَةً فَتُخْلِفَهُ.
Janganlah kamu mendebat saudaramu, jangalah mempermainkannya, dan janganlah kamu membuat janji dengannya lalu kamu menyalahinya.(HR. Tirmidzi, dari Ibnu Abbas r.a)

Dan sabdanya,
مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَةُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلَاهَا.
Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal ia dalam keadaan benar, maka kelak akan dibangunkan baginya rumah di surga yang tertinggi, dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sedangkan ia dalam keadaan salah, maka kelak akan dibangunkan sebuah rumah dipelataran surga.(HR. Ibnu Majah, dari Anas bin Malik r.a)

Adapun factor yang mendorong seseorang untuk melakukan perdebatan, biasanya adalah, mereka diri paling tinggi, dengan memperlihatkan ilmu dan kelebihannya serta menyerang orang lain dengan membongkar kekurangannya, keduanya adalah syahwat bathin yang kuat yang merusak jiwa. Dan untuk menghilangkannya tidak ada cara lain kecuali dengan menghilangkan sifat sombong atau takabbur.

1.1.5 Bermusuh-musuhan
Bermusuh-musuhan merupakan perbuatan yang tercela, dan biasanya berawal dari perdebatan atau pertengkaran.

Sikap bermusuhan, biasanya terlihat dari pembicaraan yang keras untuk mendapatkan keinginan yang dimaksudkan, sikap seperti itu sangat dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ.
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. (QS. Al-Baqarah (2) : 204)

Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ، الأَلَدُّ الْخَصِمُ.
Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah SWT adalah orang yang memiliki permusuhan yang kuat.(HR. Bukhari)

Ibnu Abbas r.a mengatakan,”Bahwa yang dimaksud dengan kalimat “aladuul khisham” adalah orang yang mendebatmu apabila kamu bicara dan mengkritikmu.”
Agar pembicaraan kita terhindar dari perdebatan yang akan menghantarkan kepada permusuhan, maka hendaknya lisan kita senantias dikendalikan untuk mengatakan kata-kata yang lembut dan baik, sejalan dengan perintah Allah SWT,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا.
Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.(QS. Al-Baqarah (2) : 83)

1.1.6 Memaksakan Perkataan Kepada Orang Lain
Sikap memaksakan perkataan kepada orang lain adalah sikap yang tidak terpuji; karena setiap orang punya kebebasan untuk menerima atau menolak perkataan seseorang. Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي فِي الْآخِرَةِ مَسَاوِيكُمْ أَخْلَاقًا الثَّرْثَارُونَ الْمُتَفَيْهِقُونَ الْمُتَشَدِّقُونَ.
Sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh tempatnya dariku adalah orang yang memaksakan perkataannya kepada orang lain, berpura-pura mengetahui segala urusan dan berbicara sambil mebuka mulut lebar-lebar.(HR.Ahmad, dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani)

Oleh karenanya, setiap orang harus menyadari, bahwa berbicara itu merupakan hak setiap orang, akan tetapi ketika saling memaksakan dalam pembicaraan tersebut, maka hal yang demikian tidak lagi dipandang baik dalam etika berbicara.

1.1.7 Berkata Keji, Kasar, Melaknat dan Memaki
Berkata keji, kotor dan memaki merupakan tindakan yang tidak terpuji dan dimurkai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda,
ِإيَّاكُمْ وَاْلفَحْشَ وَالتَّفَحُّشَ ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُ اْلفَاحِشَ الْمُتَفَحِّشَ.
Jauhilah oleh kalian perbuatan keji dan tindakan keji yang berlebihan; karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat keji .(HR. Hakim, dari Abu Hurairah r.a)

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيْسَ بِاللَّعَّانِ وَلَا الطَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ.
Sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak suka melaknat, mencela, berkata keji dan kotor. (HR. Ahmad)

Jabir bin Samurah mengatakan,”Ketika aku duduk dekat Rasulullah di suatu majlis, dan ayahku berada dihadapanku, Rasulullah seraya bersabda,”Sesungguhnya perbuatan keji dan tindakan berlebihan di dalamnya bukan termasuk Islam, dan manusia yang paling baik, adalah mereka yang paling baik akhlaknya.

Al-Ahnaf bin Qais mengatakan,”Maukah aku beritahukan kepada kalian penyakit yang paling membahayakan, yaitu perkataan yang menyakitkan dan akhlak yang buruk.”

1.1.8 Menyanyi dan Bersyair
Bernyanyi dan bersya’ir adalah jenis perkataan yang apabila isinya baik, maka akan menjadi baik, begitu juga sebaliknya, apabila kandungan dari kedunya jelek, maka akan jelek pula. Dengan demikian, nyanyian ataupun sya’ir yang diucapkan oleh seseorang akan mempengaruhi baik dan buruknya ucapan tersebut; karena sya’ir dan nyanyian pada dasarnya adalah ucapan-ucapan.

1.1.9 Bercanda/Bersenda Gurau
Secara asal, bercanda atau bersenda gurau itu merupakan bagian dari perkataan yang tercela, kecuali dengan kadar yang wajar, maka hal itu menjadi tidak terlarang.
Adapun batasan senda gurau yang dikatagorokan tercela dan terlarang adalah sendau gurau yang berlebih-lebihan dan dilakukan secara terus-menerus, dikarenakan sikap seperti itu akan membuat pelakunya menjadi lalai terhadap tugas yang sesungguhnya sebagai hamba Allah SWT. Oleh karena itu, bisa jiga dikatakan, bahwa sendau gurau itu secara asal dibolehkan, kecuali ketika dilakukan secara berlebihan dan terus-menerus.

1.1.10 Memperolok-Olok dan Mengejek
Memperolok-olokan atau mengejek maksudnya adalah, menghina orang lain dengan menyebut-nyebut atau mengisyaratkan kekurangannya sehingga yang mendengar dan melihatnya mentertawakan orang yang disebut atau diisyaratkan itu.

Tindakan tersebut diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya; dikarenakan dapat menjadikan orang-orang yang diperolok-olokan merasa sakit hati, padahal pada hakekatnya, belum tentu orang memperolok-olok itu lebih baik keadaannya daripada orang yang diperolok-oloknya

Allah SAW berfirman,
يَاأّيُّهَا الّذِينَ ءَامَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمُُ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلاَنِسَآءُُ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan). (QS. Al-Hujurat (49) :11)

1.1.11 Membeberkan Rahasia Orang Lain
Membeberkan sesuatu yang menjadi rahasia orang lain termasuk tindakan yang dilarang oleh agama; karena di dalamanya mengandung makna menyakiti terhadap sesama, yang mana hal ini sebisanya harus dihindarkan. Sehingga apapun yang kita dengar dari pembicaraan dari sesama kita, setelah selesai pembicaraan tersebut, maka itu semua akan menjadi amanah yang harus kita jaga dan pelihara. Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ الْحَدِيثَ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ.
Apabila seseorang berbicara, kemudian setelah selesai pembicaraannya, ia pergi, maka pembicaraannya itu akan menjadi amanah bagi siapa saja yang mendengarnya.(HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dari Jabir bin Abdillah r.a)
Al-Hasan berkata,”Sesungguhnya yang termasuk ke dalam katagori khianat adalah, membeberkan rahasia sesama.”

1.1.12 Janji Dusta
Sesungguhnya lisan itu terkadang lebih cepat untuk mengucapkan janji, padahal sesungguhnya diri orang yang mengucapkan janji tersebut belum siap untuk melaksanakannya, sehingga janji yang diucapkan oleh lisan menjadi janji yang palsu, tanpa ditepati, dan hal tersebut merupakan ciri dari orang munafik.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
Dari Abu Hurairah, dari nabi SAW, beliau telah bersabda,”Ciri orang munafik itu ada tiga : Apabila ia bicara, maka ia berdusta, apabila berjanji, ia menyalahi, dan apabila dipercaya, ia berkhianat. (HR. Bukhari Muslim)

Apabila seseorang hendak berjanji, maka ia harus bersungguh-sungguh untuk menepati janji tersebut; karena menepati janji merupakan ciri dari orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَامِ إِلاَّ مَايُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِيدُ.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang-binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah (5) :1)

1.1.13 Dusta dalam Berkata dan Bersumpah
Dusta merupakan perbuatan dosa dan aib. Bahkan merupakan temasuk dosa yang pelakunya tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT pada hari kiamat dan tidak akan diperhatikan, melainkan mereka akan mendapatkan adzab yang sangat pedih.

Rasulullah SAW bersabda,
Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan diperhatikan Allah SWT serta tidak akan disucikan, melainkan akan mendapatkan adzab yang pedih, mereka itulah orang yang tua yang berzina, penguasa yang dusta, dan orang miskin yang sombong.(HR. Muslim)

1.1.14 Menggunjing (Ghibah)

Menggunjing merupakan dosa yang sangat menjijikan, karena Allah SWT telah mencelanya, bahka orang yang melakukannya, disamakan dengan pemakan bangkai saudaranya. Allah SWT berfirman,
وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ.
Janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Hujurat (49) :12)

Dan Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya diharamkan, darahnya, hartanya dan kehormatannya.(HR. Muslim, dari Abu Hurairah r.a)

Ghibah (menggunjing) artinya, menyebutkan aib saudaranya, dimana apabila saudaranya itu mengetahui, ia akan marah, baik menyebutkan aib atau kekurangan yang ada pada diri saudaranya atau keluarganya, perbuatannya atau akhlaknya, perkataannya, agamanya atau urusan dunianya, bahkan dalam urusan pakaiannya, tempat tinggal dan kendaraannya.

1.1.15 Mengadu Domba (Namimah)
Mengadu domba termasuk kategori dosa besar, dan pelakunya tidak akan masuk surga. Rasulullah SAW bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نمَاَّمٌ.
Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba.(HR. Muttafaq ‘alaih)
Adapun batasan yang termasuk kedalam katagori mengadu domba adalah, menyampaikan perkataan orang lain kepada seseorang yang dibicarakannya.umpamanya, seseorang mengatakan kepada temannya,”Si fulan telah membicarakanmu seperti ini dan itu.” Tindakan seperti itu termasuk mengadu domba.

1.1.16 Ucapan Orang Yang Berlidah Dua
Yang dimaksud dengan ucapan yang memiliki dua lisan adalah, ketika seseorang mengatakan dua ucapan yang berbeda kepada dua orang yang berbeda. Seperti kepada si A, ia mengatakan merah, akan tetapi kepada si B, ia mengatakan hitam, hal tersebut telah diisyaratkan dalam hadits Nabi SAW,
َتَجِدُونَ شَرَّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَيَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ.
Kalian akan mendapatkan sejelek-jelek manusia, yaitu orang yang memiliki dua muka (dua lisan), yang datang kepada suatu kaum dengan satu pembicaraan, kemudian datang kepada kaum yang lain dengan pembicaraan yang berbeda.(HR. Bukhari Muslim, dariAbu Hurairah r.a)

1.1.17 Memuji (Menyanjung)
Memuji atau menyanjung memiliki enam dampak bahaya. Lisan, empat di antaranya bagi yang memuji, dan dua bagi orang yang dipuji.
Adapun bahaya bagi orang yang memuji adalah :
•Terkadang ia memuji dengan berlebihan, sehingga tanpa disadari, kata-kata bohong terlontar dari mulutnya.
•Terkadang ia tanpa disadari berbuat riya; karena dengan memuji seseorang pada hakekatnya, ia telah memperlihatkan kecintaannya.
•Terkadang ia mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
•Terkadang ia telah membuat orang yang dipuji menjadi bahagia, padahal ia seorang yang zhalim dan fasik.

Sedangkan dua bahaya yang akan diderita oleh orang yang dipuji adalah :
•Pujian itu terkadang memunculkan sifat takabbur dan ujub pada diri orang yang dipuji, dan keduanya itu akan mengakibatkan kehancuran bagi dirinya.
•Orang yang dipuji dengan kebaikan terkadang merasa bahagia yang mengakibatkan dirinya menjadi lalai dari kebaikan seakan telah merasa cukup dengan apa yang telah diperbuatnya.

1.1.18 Kisah Teladan Seputar Menjaga Lisan
Pada suatu ketika, sorang raja membunuh pembantunya untuk membeli bagian yang terbaik dari domba, dengan harapan ia akan bisa memberikan jamuan yang terbaik bagi tamu yang diundangnya, kemudian pembantunya pergi ke pasar, dan yang ia beli dari domba yang pesan itu adalah lidahnya. Kemudia ia pun pulang dan dipasaknya lidah domba tersebut.
Setelah selesai dipasak, maka lidah domba tersebut dihidangkan kepada majikannya (sang raja). Maka sang raja pun merasa puas dengan apa yang dibeli oleh pembantunya (lidah domba). Keesokan harinya, sang raja menyuruh kembali pembantunya untuk membeli sesuatu yang terjelek dari domba, kemudian pembantunya pergi ke pasar, dan ia membeli bagian yang sama dari domba, yaitu lidahnya, lalu dibawanya pulang dan dimasaknya.
Setelah selesai dimasak, ia menghidangkan lidah domba tersebut kepada sang raja. Untuk kali ini sang raja merasa dihina oleh pembantunya; karena ternyata yang dibeli oleh pembantunya adalah lidah domba juga. Kemudian sang raja segera memanggil pembantunya dengan penuh rasa marah, setelah pembantu itu berada dihadapannya, sang raja menegurnya seraya berkata, ”Wahai ghulam! Apakah kamu bermaksud untuk mempermainkan aku? Pembantunya menjawab, ”Atas dasar apa Engkau mengambil kesimpulan seperti itu? Jawab sang raja, ”Ketika aku menyuruhmu untuk membeli bagian yang terbaik dari domba, yang kamu beli adalah lidahnya, dan ketika aku menyuruhmu untuk membeli bagian yang terjelek dari domba, ternyata kamu membeli lidahnya pula, bukankah ini artinya bahwa kamu hendak mempermainkan aku?
Pembantunya menjawab, ”Wahai tuanku! Ketahuilah bahwa lidah itu adalah sumbernya hikmah, akan tetapi lidah tersebut merupakan sumber pula untuk sebuah petaka. Apabila manusia menggunakannya dalam kebaikan, maka akan membawanya kepada kebaikan. Akan tetapi ketika digunakan dalam kejelekan, maka petakalah yang akan didapatkan oleh manusia.”
Setelah mendengarkan jawaban pembantunya, sang raja merasa bahwa, ternyata seorang pembantu yang dia anggap rendah kedudukannya memiliki kejernihan hari yang luar biasa.

Modul 12: Etika Hubungan Sesama Manusia (Hablun Minan Naas)

1.1 Pergaulan Sesama Manusia Secara Umum
Hubungan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam . sedimikian pentingnya persaudaraan ini sehingga seorang Muslim tidak dianggap sempurna imannya jika belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai saudaranya sendiri. Dengan demikian, ia berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dan menjaganya dari berbagai bentuk kemadharatan.

Keluhuran akhlak di dalam Islam tidak hanya terbatas kepada sesama Muslim, tapi menfaat dari akhlak tersebut juga akan dirasakan oleh seluruh umat manusia. Karena itu, seluruh perangai buruk diharamkan bagi setiap manusia.

Islam menganjurkan agar kita bersikap baik terhadap saudara sesama Muslim, juga kita dianjurkan berbuat baik terhadap sesama manusia, baik itu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan lain-lain. Mengenai tata cara bergaul dengan mereka itu, Allah SWT telah memberikan petunjuk atau tuntunan tentang kewajiban-kewajiban kita sebagai orang Islam.

Dalam pergaulan yang menyangkut dengan kehidupan beragama, kita diwajibkan menghormati kepercayaan tanpa mempengaruhi keyakinan kita sendiri. Dalam hal ini sebagai Muslim kita harus mengambil sikap tegas dan jelas, sebagaimana tuntunan Allah SWT sebagai berikut,
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ {1} لآَأَعْبُدُ مَاتَعْبُدُونَ {2} وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ {3} وَلآَأَنَا عَابِدُُ مَّاعَبَدتُّمْ {4} وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ {5} لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ {6}
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah . Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".(QS. Al-Kafirun (109) : 1-6)

Prinsip Islam seperti yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut di atas adalah perdamaian antara sesama manusia. sehubungan dengan hal kewajiban antara sesama manusia, Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ سُلَامَى مِنْ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَيُمِيطُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ.

Tiap-tiap persendian manusia ada kewajiban sedekah, dan tiap hari dimana matahari terbit, kalau berlaku adil diantara kedua orang yang bersengketa itu berarti sedekah, dan membantu seseorang naik keataskendaraan atau mengangkatkan barang (bekalnya) itu sedekah; dan kalimat yang baik itu sedekah; dan tiap langkah (berjalan) untuk melaksanakan shalat adalah sedekah; dan menghilangkan gangguan dari tengah jalan itu adalah sedekah. (HR. Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah r.a)

1.2 Hak-Hak Sesama Muslim
Terhadap sesama Muslim kita berkewajiban untuk menjaga pergaulan dengan penuh hormat-menghormati, tidak menyombongkan diri (takabbur), congkak dan lain sebagainya, akan tetapi kita diarahkan supaya senantiasa bersikap rendah hati, sopan-santun terhadap sesama Muslim atau terhadap orang-orang yang beriman. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيَن .
Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS. Al-Hijr (15) : 88)
Rasulullah SAW bersabda,
الْمُسْلِمُونَ إِخْوَةٌ لا فَضْلَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ إِلابِالتَّقْوَى.
Orang-orang Islam itu satu sama lain bersaudara, tiada lebih dari seorang atas seorang yang lainnya, kecuali karena ketakwaannya.(HR. Thabrani)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW menegaskan, bahwa sesama orang Mukmin adalah laksana satu tubuh, sebagaimana sabdanya,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam saling mencintai, saling menyayangi, saling mengasihi, bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota tubuh menderita, maka menjalarlah penderitaan itu keseluruh badan hingga tidak dapat tidur dan badan panas.(HR. Muslim dan Ahmad, dari Nu’man bin Basyir)

Rasulullah SAW dalam menjelaskan tentang kewajiban antara sesama Muslim amat mendetail, sehingga sampaidiuraikan secara rinci, sebagaimana tersebut dalam hadits berikut ini,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.
Hak seorang Muslim terhadap Muslim yang lainnya ada enam : apabila kamu berjumpa dengannya, maka berilah salam kepadanya. Apabila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya. Apabila ia meminta nasehat, maka berilah nasehat kepadanya. Apabila ia bersin lalu memuji Allah (membaca al-Hamdulillah), maka do’akanlah ia olehmu. Apabila ia sakit, maka tengoklah ia, dan apabila ia meninggal, maka iringkanlah jenazahnya.(HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut dijelaskan tentang kewajiban seorang Muslim terhadap Muslim yang lainnya, yang harus dilakukan guna membina kehidupan yang baik, damai dan sejahtera, serta diridlai Allah SWT. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi enam masalah, yaitu :

1.2.1 Mengucapkan Salam
Mengucapkan salam terhadap sesama Muslim hukumnya sunnah, tapi bagi yang diberi salam wajib hukumnya untuk menjawab salam tersebut. Dan yang menjawabnya disunnahkan untuk melebihkan dari salam yang diucapkan oleh pemberi salam. Atau sekurang-kurangnya sama dengan ucapa pemberi salam tersebut. Islam menganjurkan kepada kita agar senantiasa membiasakan untuk mengucapkan salam dimana dan kapan saja bertemu dengan sesama orang Islam, terutama apabila masuk bertamu ke rumah orang lain.

1.3 Memenuhi Undangan
Orang yang merasa telah mengundang seseorang dalam sebuah acara atau waktu-waktu tertentu, pasti akan menunggu kehadiran kita di acara yang diselenggarakannya. Ia akan merasa puas dan bahagia apabila undangan tersebut dipenuhi. Dan ia akan merasa kecewa dan mungkin tersinggung apabila orang-orang yang diundangnya tidak hadir. Maka oleh karena itu, mendatangi undangan adalah wajib hukumnya.

1.4 Memberikan Nasehat kepada Orang yang Memintanya
Memberikan nasehat kepada orang lain (sesama Muslim) sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, baik diminta maupun tidak, apalagi ada teman sesama Muslim yang meminta nasehat, maka kita harus bersedia menasehati dengan nasehat yang sekiranya membawa kemanfaatan baginya, sehingga ia merasa puas dengan nasihat yang diberikan kepadanya.
Allah SWt berfirman,
وَالْعَصْرِ {1} إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2} إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS. Al-’Ashr (103) : 1-3)

1.4.1 Mendoakan Seorang Muslim yang Bersin
Sebagai realisasi dan pernyataan bahwa orang-orang Mukmin satu sama lain adalah bersaudara, bahkan laksana anggota tubuh, maka kalau ada teman sesama Muslim yang bersin, dan ia mengucapkan,”Al-Hamdulillah.” maka hendaknya kita jawab,”Yarhamukallahu.” kemudian yang bersin mengucapkan,”Yahdikumullahu.”

1.4.2 Menengok Orang Islam Manakala Sakit
Apabila ada seorang Muslim yang sakit, maka hendaknya ia cepat dijenguk. Dan ketika menjenguknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan : Jangan menakut-nakutinya dengan penyakit yang dideritanya, bawakanlah sesuatu (makanan atau obat-obatan) sekedar meringankan beban yang diderita oleh si sakit dan keluarganya, bersikap dengan sopan, menghiburnya dengan memberikan harapan bahwa penyakit yang dideritanya akan lekas sembuh, memberinya nasehat kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT dan mendoakannya agar penyakit yang menimpa kepadanya segera diberi kesembuhan oleh Allah SWT.

1.4.3 Mengantarkan Jenazahnya
Apabila ada saudara kita sesama Muslim meninggal dunia, kita disunnahkan untuk turut serta mengurusi jenazahnya hingga mengantarkannya ke pemakaman. Dan ketika mengantarkan jenazah, hendaknya diperhatikan adab-adab sebagai berikut : tidak tertawa terbahak-bahak, tidak berteriak-teriak, menceritakan aibnya dan hendaknya kita mendoakannya, semoga amal kebaikannya diterima disisi Allah SWT dan segela kesalahannya diampuni oleh-Nya.

1.5 Hak-Hak Kedua Orang Tua dan Anak
1.5.1 Hak-Hak Kedua Orang Tua
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada ana-anak manusia agar mereka senantiasa menunaikan hak-hak kedua orang tua mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal. Hendaknya mereka senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya; karena dengan demikian seorang anak akan mencapai kemuliaan dan kebaikan, baik dunia maupun akhirat. Namun sebaliknya barangsiapa yang menyia-nyiakan keduanya, maka Allah SWT dan Rasul-Nya mencelanya dengan keras.

Sebagai orang tua berhak untuk mendapat penghargaan, perhatian sekaligus perlindungan dari anak-anaknya. Orang tua berhak untuk mendapatkan bantuan (nafkah) dari anak-anak mereka pada saat keduanya telah dimakan usia dan sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Dan sebagai anak-anak yang shalih berkewajiban untuk senantiasa mendo’akan kedua orang tua mereka agar mendapatkan rahmat dan kemuliaan di sisi Allah SWT; karena keduanya yang jasa keduanya mereka dilahirkan ke dunia, Allah SWT berfirman,
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak. (QS.An-Nisaa` : 4:36)

Dan firman-Nya,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Israa` (17) : 23-24)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia telah berkata,”Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia bertanya,”Siapakah orang yang paling berhak kubaktikan diriku kepadanya?” Rasulullah SAW menjawab,”Ibumu.” Ia bertanya kembali,”Kemudian siapa lagi?” beliau menjawab,”Ibumu.” Ia bertanya lagi,”Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab,”Ayahmu.”(HR. Bukhari dan Muslim).

1.5.2 Hak-Hak Anak
Ada beberapa kewajiban orang tua yang harus ditunaikan terhadap anak-anak mereka, yaitu :

a. Memberikan Nafkah
Dalil yang mewajibkan orang tua memberi nafkah kepada anaknya, atau cucunya, atau cicitnya, tanpa memandang laki-laki atau wanita adalah firman Allah SWT,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.. (QS. Al-Baqarah (2) : 233)
Dari makna ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa sang ayah diharuskan menanggung nafkah dan pakaian istri yang sedang menyusui anaknya, sekalipun sang istri telah dicerai olehnya.

Dengan demikian, maka memberi nafkah secara langsung kepada anak, lebih diwajibkan lagi. Allah SWT berfirman,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ.
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. (QS. Ath-Thalaq (65) : 6)
Apabila memberi imbalan (nafkah) kepada wanita yang sedang menyusui anaknya adalah suatu kewajiban, maka lebih wajib lagi memberi nafkah kepada anak sendiri.

Dalam sebuah hadits dikisahkan, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata,”Aku sekarang mempunyai uang satu dinar, Rasulullah SAW bersabda,”Nafkahilah dirimu sendiri dari uang tersebut.” Lelaki itu berkata,”Aku mempunyai satu dinar yang lainnya.”Rasulullah SAW bersabda,”Jika demikian, nafkahkanlah untuk anakmu.”(HR. Baihaqi, dari Abu Hurairah r.a)

Rasulullah SAW pernah bersabda kepada istri Abu Sufyan yang mengadu kepada beliau tentang perbuatan suaminya yang bersikap bakhil,
خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ.
”Ambilah olehmu secukupnya dari harta Abu Sufyan dengan cara yang baik untuk menafkahi dirimu dan anak-anakmu.”(HR. Muslim dan Ibnu Hibban, dari Siti Aisyah r.a)

Hukum memberi nafkah kepada anak itu wajib, dengan syarat-syarat berikut :
•Kondisi ekonomi kedua orang tua dalam keadaan mudah, dan ketika mereka tidak mempunyai harta, maka mereka boleh dipaksa untuk bekerja agar menafkahi anaknya, dan ini merupakan pendapat yang paling shahih.

•Hendaknya sang anak tidak memiliki harta benda dan pekerjaan, sehingga apabila si anak mepunyai harta atau mampu untuk bekerja, maka kedua orang tuanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada keduanya; karena tidaknya alasan kebutuhan.
Memberi nafkah kepada Anak dan kerabat tidak ada standar yang tetap, akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Disamping nafkah ini, termasuk wajib pula memberinya pakaian dan tempat tinggal. Apabila semua pemberian orang tua itu telah menjadikan sang anak mampu memberikan jamuan atau berderma, maka nafkah tersebut sudah tidak wajib lagi bagi orang tuanya.

b. Memelihara dan Memberikan Pendidikan yang Baik
Sehubungan dengan kewajiban orang tua untuk memberikan pendiidikan kepada anak-anaknya, Allah SWT berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim (66) : 6)
Sahabat Ali Karramahullahu wajhah telah berkata,”Ajarilah mereka – keluargamu – dan didiklah mereka.

Al-Hasan berkata,”Perintahkanlah mereka – anak-anakmu – untuk taat kepada Allah SWT, dan ajarilah mereka tentang kebaikan.”
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, yang bersumber dari Amer bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
Perintahkanlah anak-anak kalian melakukan shalat sewaktu mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya sewaktu mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Dalam hadits tersebut terkandung tiga pesan pendidikan, yaitu : Memerintahkan kepada anak-anak untuk shalat, memukul mereka jika meninggalkannya dan memisahkan tempat tidur mereka.

Rasulullah SAW bersabda,
Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Tiap orang dianjurkan untuk memberikan dorongan kepada anaknya agar sang anak menuntuk ilmu hadits; sebab sang ayah akan dimintai pertanggung-jawaban mengenai hal itu.

Dalam hadits berikut ini terdapat perintah Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang tua, agar mereka berlaku adil terhadap anak-anak mereka, sehingga diharapkan dikemudin hari mereka dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Beliau bersabda,
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ.
Bertakwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian.(HR. Muslim, dari Nu’man bin Basyir)

Dikisahkan, pada suatu waktu ada seseorang yang menghibahkan harta kepada anak-anaknya dengan tidak adil, kemudian Rasulullah SAW diminta untuk menjadi saksinya, akan tetapi Rasulullah SAW enggan untuk melakukannya, beliau bersabda,”Persaksikanlah oleh orang selainku.” Beliau tidak menyetujui hal tersebut; karena yang demikian itu termasuk perbuatan yang keliru (tidak adil). Beliau bersabda,
فَلَا تُشْهِدْنِي إِذًا إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ إِنَّ لِبَنِيكَ عَلَيْكَ مِنْ الْحَقِّ أَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ
Janganlah kamu menjadikan aku saksi dalam perbuatan aniaya. Sesuangguhnya kewajibanmu tarhadap anakmu adalah berlaku adil.(HR. Abu Daud dan Ahmad, dari Nu’man bin Baasyir)
Islam memandang, orang tua yang lalai dalam memberikan pelajaran atau pendidikan terhadap anak-anaknya tentang-hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, kemudian ia membiarkannya begitu saja, berarti ia telah menjerumuskan anaknya. Pada dasarnya, kerusakan moral yang terjadi pada diri sang anak, disebabkan kesalaha dari pihak orang tua yang lalai dalam memberikan pendidikan kepadanya, disamping faktor lingkungan yang tidak baik.

Tidak sedikit dikalangan orang tua yang tidak mendidik anak-anak mereka tentang kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya, hingga mereka sama kecilnya asing dan tersia-sia dari pendidikan agama. Dan anak-anak yang mengalami nasib demikian, jika sudah tumbuh dewasa (besar), tidak bermanfaat bagi orang tua mereka, bahkan tidak bermanfaat pula bagi diri mereka sendiri.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ أَمْ ضَيَّعَ.
Dari Anas, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang apa-apa yang dipimpinnya, apakah ia memeliharanya ataukah menyia-nyiakannya, sehingga seseorang akan ditanya tentang urusan keluarganya. (HR. Ibnu Hibban)

1.6 Hak-Hak Kerabat dan Sanak Keluarga
1.6.1 Menyambungkan Silaturahim

Di awal surat An-Nisaa Allah SWT berfirman,
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisaa (4) : 1)

Pengertian arham mencakup semua kerabat, tanpa dibedakan antara muhrim dan yang bukan muhrim. Ayat tersebut di atas memerintahkan kepada kita agar menghubungkan silaturahmi, dan sekaligus melarang kita memutuskannya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari akhir, maka hendaknya ia menghubungkan silaturahminya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari akhir, maka hendaknya ia mengatakan yang baik-baik atau diam.”

Dengan menghubungkan silaturahmi, maka manusia akan memperoleh dua keberkahan, yaitu : keberkahan rizki dan umur, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini,
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
Dari Ibnu Syihab, ia telah berkata,”Anas bin Malik telah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Barangsiapa yang suka rijkinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan, maka hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan.” (HR. Bukhari Muslim)

1.6.2 Memberikan Sedekah
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ.
Dari Abu Ayyub Al-Anshary, ia telah berkata,” Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya shadaqah yang paling utama adalah shadaqah yang diberikan kepada kerabat yang menyembunyikan rasa permusuhan.(HR. Ahmad)
Yang dimaksud dengan lafazh “Al-Kasyih” dalam hadits di atas adalah kerabat yang memendam rasa permusuhan terhadap dirimu. Maka shadaqah yang paling utama berdasarkan hadits tersebut adalah shadaqah yang diberikan kepada sahabat yang memendam rasa permusuhan. Makna hadits tersebut semakna dengan makna yang terkandung dalam hadits Rasulullah SAW berikut,
أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ مَنَعَكَ وَتَصْفَحَ عَمَّنْ شَتَمَكَ.
Dan hendaknya kamu menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskannya, memberi kepada orang yang enggan memberi, dan memaafkan orang yang mencacimu. (HR. Ahmad)
Adapun dampak memutuskan tali persaudaraan (silaturahim) adalah akan disegerakannya adzab oleh Allah SWT, tidak diterimanya amal dan terhalangnya seseorang untuk masuk surga.

Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa hadits berikut,
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Dari Abu Bakrah, ia telah berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Tiada suatu dosapun yang lebih layak untuk disegerakan siksaan terhadap pelakunya di dunia oleh Allah SWT, berikut siksaan yang akan dideritanya di akhirat kelak, selain dari zina dan memutuskan silaturahim.(HR. Abu Daud)

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَأَسْرَعُ الشَّرِّ عُقُوبَةً الْبَغْيُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ.
Dari Aisyah, Ummul Mukminin, ia telah berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Amal baik yang paling cepat pahalanya adalah berbuat baik kepada kedua orang tua dan menghubungkan silaturahim, adapun keburukan yang paling cepat siksaannya adalah perbuatan zina dan memutuskan silaturahim.(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلَا يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ.
Dari Abu Hurairah, ia telah berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya amal perbuatan keturunan Adam dibeberkan tiap hari kamis, malam Jum’at, maka tidalah diterima amal perbuatan orang yang memutuskan silaturahim.(HR. Ahmad)

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ . قَالَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ سُفْيَانُ يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ.
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, ia telah berkata,”Rasulullah SAW berabda,”Tidak dapat masuk surga orang yang memutuskan. Sufyan menjelaskan, maksudnya adalah, orang yang memutuskan silaturahim.(HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad)

1.6.3 Mengetahui Nasab Kerabat
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Pelajarilah nasab (silsilah) keturunan kalian, agar kalian dapat menghubungkan silaturahim, karena sesungguhnya silaturahim itu akan menanamkan rasa cinta dalam kekeluargaan, menambah banyak harta atau rizki dan memperpanjang umur. (HR.Tirmidzi dan Ahmad).

Sahabat Umar berkata,”Pelajarilah nasabmu; niscaya kamu akan mengetahui asal keturunanmu melaluinya. Dan oleh sebab itu pula kamu akan tergerak untuk melakukan silaturahim.

Dan ada pula yang mengatakan,”Bahwa seandainya mengetahui nasab itu bukan hanya untuk memperkuat diri dari ancaman musuh dan pertentangan antara sesama, maka niscaya mempelajarinya termasuk sikap yang paling tepat dan pahalanya lebih utama.”
Imam Ali pernah berwasiat,”Muliakanlah para kerabatmu, karena mereka adalah sayap yang dapat menerbangkanmu. Berkat mereka, kamu menjadi kuat dan berpengaruh, mereka bagaikan senjata dikala bahaya menerjang, oleh karenanya, muliakanlah orang-orang terhormat mereka, kunjungilah orang yang sakit di antara mereka, ajaklah mereka bersama-sama dalam segala kegiatan, dan tolonglah orang-orang miskin di antara mereka.

1.7 Hak-Hak Tetangga
Ajaran Islam telah memberikan bimbingan dan petunjuk-petunjuk dasar tentang bagaimana membina hidup bertetangga dan menunaikan hak-hak ketetanggaan sesuai dengan nilai-nilai yang telah digariskan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Allah SWT berfirman,
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisaa` (4) : 36)

Rasulullah SAW bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ.
Tidaklah (sempurna) iman seorang hamba sehingga ia mencintai tetangganya. (HR. Muslim)

Dan sabdanya,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.(HR. Bukhari)
Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Jaami’ul Hadits mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hak-hak ketetanggaan, yaitu :
•Jika tetangga meminta pertolongan, maka berilah dia pertolongan.
•Jika meminta bantuan, maka bantulah.
•Jika ia meminjam sesuatu, maka pinjamilah.
•Kalau dia miskin, maka santunilah.
•Kalau dia sakit, maka jenguklah.
•Kalau dia meninggal, maka turutlah mengantar jenazahnya (sampai ke kubur).
•Jika ia mendapat kebaikan (kenikmatan), maka berikanlah ucapan selamat.
•Janganlah membangun rumah lebih tinggi daripada rumahnya, sehingga dapat menghambat angin masuk ke dalamnya, kecuali dengan seizinnya.
•Janganlah menyakiti hatinya.
•Apabila kamu membeli buah-buahan, maka berikanlah sedikit kepada tetanggamu. Kalau tidak mungkin untuk dibagi, maka bawalah buah-buahan tersebut ke dalam rumah secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai mereka melihat anakmu sedang makan buah-buahan itu.
•Janganlah menyinggung hatinya dengan bau masakanmu, kalau tidak mungkin membagi sedikit untuknya. Tahukah kamu hak-hak tetangga itu? Demi Allah yang diriku berada dalam genggaman-Nya, hanyalah orangorang yang dikaruniai Allah yang dapat menunaikan hak-hak tetangganya (HR. Umar bin Syuaib).

1.8 Kisah Teladan Seputar Hablum Minannas
Dikisahkan ada seorang sol sepatu, ia memiliki cita-cita yang sangat mulia, yaitu ingin melaksanakan ibadah haji. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, ia selalu menyisihkan uang hasil dari usahanya itu, setiap hari ia mewajibkan dirinya untuk menabung.

Bertahun-tahun ia menjalani profesi tersebut dengan tetap membawa cita-citanya itu, setelah hari berganti, minggu berlalu dan tahunpun bersambung, akhirnya dengan kesungguhan niat yang dimilikinya, dan usaha keras yang diakukannya, ia pun berhasil mengumpulkan sejumlah uang untuk bekal perjalanan cita-citanya itu.

Ketika keesokan harinya ia mau berangkat haji, tiba-tiba datang tetangganya dengan membawa masalah, yaitu penyakit yang dideritanya. Untuk menyembuhkan penyakitnya itu, ia membutuhkan biaya yang banyak, dan ketika itu ia tidak memiki uang, sehingga dengan terpaksa ia datang ke tukang sol sepatu itu dengan harapan akan memperoleh pinjaman uang.

Tekad yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh tukan sol sepatu, dan waktu yang tinggal satu malam lagi untuk menjalankan ibadah haji, sepertinya cukup untuk dijadikan alasan oleh tukang sol sepatu agat tidak tidak memberikan pinjaman uangnya, akan tetapi tukang sol sepatu itu ternyata memiliki jiwa sosial yang tinggi dan perhatian yang luar biasa terhadap sesamanya yang membutuhkan bantuan, hal tersebut terbukti, bahwa ia tidak berpikir dua kali untuk memberikan uang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah kepada tetangganya itu, walaupun dengan resiko, bahwa ia tidak akan akan bisa mewujudkan cita-citanya

Kamis, 22 September 2011

Modul 11: Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Birrul Walidain)

1.1 Pengertian Birrul Walidain
Ibu dan bapak adalah manusia yang paling dekat hubungannya dengan anaknya, karena mereka jadi asal jasmani dari anaknya, dan ditambah lagi dengan pengawasan dan pendirikan mereka terhadap anaknya. Pada umumnya kedua orang tua bersedia menyerahkan hidupnya untuk keselamatan anaknya.

Islam mengajarkan supaya anak mematuhi kedua orang tuanya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sudah menjadi tugas sanga anak untuk berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain) artinya, menunaikan hak orang tua, mentaati keduanya, melakukan hal-hal yang membuat mereka berdua senang dan menjauhi berbuat buruk terhadap mereka. Perintah berbuat baik kepada kedua orang tua ditempatkan dalam urutan langsung setelah perintah beribadah kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya. Allah SWT berfirman,
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak. (QS.An-Nisaa` : 4:36)
Dan firman-Nya,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS.Al-Israa` (17) :23)
Dalam kedua ayat di atas, jelaslah bahwa kita diwajibkan beribadah kepada Allah SWT, juga kita supaya berbuat baik kepada kedua orang tua (ibu dan bapak).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia telah berkata,”Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia bertanya,”Siapakah orang yang paling berhak kubaktikan diriku kepadanya?” Rasulullah SAW menjawab,”Ibumu.” Ia bertanya kembali,”Kemudian siapa lagi?” beliau menjawab,”Ibumu.” Ia bertanya lagi,”Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab,”Ayahmu.”(HR. Bukhari dan Muslim).

1.2 Bentuk-Bentuk Birrul Walidain
1.2.1 Bersikap Lemah Lembut kepada Keduanya

Allah SWT berfirman,
فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ.
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan". (QS.Al-Israa` (17) :23-24)
Abul Haddaj telah bercerita,”Aku berkata kepada Said Ibnul Musayyab,”Setiap ayat di dalam al-Qur’an yang menceritakan tentang memuliakan orang tua, telah aku fahami maksudnya, kecuali firman Allah,”.. dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Apakah yang dimaksud dengan,”Perkataan yang mulia.” pada ayat itu?” Sa’id Ibnul Musayyab menjawab,”Bagaikan bicaranya hamba sahaya yang berbuat kekeliruan terhadap tuannya yang galak.”

1.2.2 Memberi Nafkah kepada Kedua Orang Tua
Dalil yang mewajibkan anak untuk memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya adalah firman Allah SWT,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.
Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.(QS. Lukman (31) : 15)
Dan firman-Nya,
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا.
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapak-nya .. (QS. Al-Ankabut (29) : 8)
Kewajiban anak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya terikat dengan syarat-syarat tertentu, yaitu : Pada saat kondisi ekonomi anak dalam keadaan mapan (mudah), sementara ekonomi orang tuanya dalam keadaan serba kekurangan atau tidak mempunyai harta yang cukup untuk nafkah mereka sendiri.

Yang dimaksud dengan mapan (mudah) adalah adanya kelebihan pada diri si anak setelah nafkah untuk dirinya sendiri dan anak istrinya selama satu hari satu malam, yang dengan kelebihan tersebut ia dapat memberi nafkah terhadap orang tuanya. Dan jika sang anak tidak mempunyai kelebihan, maka tidak wajib baginya untuk memberi nafkah kepada kedua orang tuanya, mengingat kondisi ekonomi yang sulit.

Syarat selanjutnya, adalah ketika kedua orang tuanya tidak mempunyai pekerjaan sama sekali, sebab pekerjaan itu kedudukannya disamakan dengan mempunyai harta benda. Dan jika mereka berdua tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan kondisi fisik mereka memungkinkan untuk bekerja, maka di dalam membebankan mereka untuk bekerja, di kalangan Ulama ada dua pendapat. Menurut pendapat yang paling shahih, bahwa mereka dipaksa untuk bekerja mengingat kondisi mereka yang memungkinkan. Adapun menurut pendapat kedua, bahwa mereka tidak dipaksa untuk bekerja, sebab ada firman Allah SWT yang mengatakan,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.
Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.(QS. Lukman (31) : 15)
Makna dari ayat tersebut adalah, bahwa memaksakan kedua orang tua untuk bekerja sekalipun mereka mampu, adalah suatu sikap yang bertentangan dengan citra mempergauli mereka dengan baik.

1.2.3 Meminta Izin kepada Kedua Orang Tua
Allah SWT berfirman,”
وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَئْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nuur (24) :59)
Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat dari Syu’bah, dari Abu Ishaq yang menceritakan, ”Aku pernah mendengar Muslim Ibnu Nadzir mengatakan,”Ada seorang lelaki bertanya kepada Hudzaifah,”Apakah aku harus meminta izin terhadap ibuku sendiri? Hudzaifah menjawab,”Jika engkau tidak meminta izin terlebih dahulu, niscaya engkau akan melihat (hal-hal) yang tidak engkau sukai.”

1.2.4 Mendo’akan Kedua Orang Tua dan Memintakan Ampunan untuk Keduanya
Allah SWT berfirman,
وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
Dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS.Al-Israa` (17) : 24)
Perintah yang terkandung di dalam makna ayat tersebut menunjukan wajib. Oleh karena itu, anak harus mendo’akan untuk kedua orang tuanya agar mereka diberi rahmat oleh Allah SWT.
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَمُوْتُ وَالِدَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا ، وَإِنَّهُ لَهُمَا لَعَاقٌ ، فَلاَ يَزَالُ يَدْعُو لَهُمَا ، وَيَسْتَغْفِرُ لَهُمَا حَتَّى يَكْتُبَهُ اللهُ بَارًا »
Dari Anas bin Malik, ia telah berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya seorang hamba yang kedua orang tuanya wafat atau salah seorang dari keduanya, padahal ia telah menyakitinya, akan tetapi ia terus-menerus mendo’akan mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, maka ia akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang berbakti (kepada kedua orang tuanya).(HR. Baihaqi).

1.2.5 Menghubungkan Persahabatan
Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْمَرْءِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
Sesungguhnya kebaktian (terhadap orang tua) yang paling utama adalah hendaknya sang anak menghubungi teman-teman dekat ayahnya (sesudah ayahnya meninggal). (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

1.3 Durhaka Kepada Orang Tua
• Durhaka kepada orang tua artinya tidak mentaatinya, menyepelekan hak-haknya, melakukan hal-hal yang tidak disukainya dan menyakitinya sekalipun hanya dengan perkataan ”ah” atau ”hus” atau memandangnya dengan pandangan sinis atau menyepelekan kedudukannya. Dalam al-Qur’an disebutkan larangan menyakiti atau durhaka kepada kedua orang tua, bahkan menyatakan uf (ah) atau cis pun dilarangnya.
Allah SWT berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا.
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Israa` (17) : 23)

• Menyakiti ke dua orang tua termasuk dosa besar
Di antara dosa yang paling besar adalah menyakiti kedua orang tua, dan dosanya berada pada tingkatan ke dua setelah dosa syirik kepada Allah SWT.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ.
Dari Anas r.a, ia berkata,”Nabi SAW pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau bersabda,”Menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh dan kesaksian palsu.”(HR. Bukhari)

- Menyakiti ke dua orang tua dapat mendatangkan murka Allah SWT :
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ .
Dari Abdullah bin Amer, ia telah berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,”Keridlaan Allah berasal dari keridlaan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah berasal dari murka kedua orang tua. (HR. Tirmidzi, dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim)

1.4 Adzab Bagi Pelaku Durhaka kepada Kedua Orang Tua
• Kutukan bagi orang yang menyakiti ke dua orang tuanya
Pada suatu ketika pernah ada yang bertanya kepada Imam Ali Karramahullahu wajhahu,”Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang dibisikkan Rasulullah SAW kepadamu.” Ali r.a menjawab,”Rasulullah SAW belum pernah merahasiakan sesuatu apapun terhadap diriku dan merahasiakannya kepada orang-orang banyak. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ تُخُومَ الْأَرْضِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا.
Semoga Allah melaknat orang yang mencaci kedua orang tuanya, semoga Allah melaknat orang yang merobah batasan tanah orang lain, semoga Allah melaknat orang yang memberi tempat ahli bid’ah.”(HR. Ahmad)

• Orang yang menyakiti kedua orang tuanya tidak akan mancium bau surga
Abdullah bin Amer bin ’Ash menceritakan bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda,
ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ.
Ada tiga macam orang diharamkan oleh Allah SWT masuk surga, yaitu : pecandu khamer, orang yang menyakiti kedua orang tua, dan germo yang menizinkan keluarganya melacur.(HR. Ahmad, Nasaai` dan Hakim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,
إِيَّاُكُمْ وَعَقُوْقَ اْلوَالِدَيْنِ فَإِنَّ اْلجَنَّةَ يُوْجَدُ رِيْحُهَا مِنْ مَسِيْرَةِ أَلْفِ عَامٍ وَلاَ يَجِدُ رِيْحَهَا عَاقٌٍ وَلاَ قَاطِعُ رَحمٍ.
Hindarilah oleh kalian perbuatan menyakiti kedua orang tua, sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan seribu tahun, dan tidak akan dapat menciumnya orang yang menyakiti kedua orang tuanya dan orang yang memutuskan silaturahmi.(HR. Ad-Dailami dari Ali r.a)


• Orang yang menyakiti kedua orang tuanya akan disegerakan siksaannya di dunia :
Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ الذُّنُوْبِ يَغْفِرُ اللهُ مِنْهَا مَا شَاءَ ، إِلاَّ عُقُوْقَ الوَالِدَيْنِ ، فَإِنَّهُ يُعِّجِلُ لِصَاحِبِهِ فِيْ الْحَيَاةِ قَبْلَ الْمَمَاتِ.
Setiap perbuatan dosa diampuni Allah SWT sekehendak-Nya hingga hari kiamat nanti, kecuali dosa menyakiti kedua orang tua, Dia akan menyegerakan siksaan-Nya terhadap pelakunya di dunia sebelum pelakunya mati.”(HR.Baihaqi, dari Abu Bakrah)
Dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Imam Bukhari dalam kitab at-Tarikh, dan Imam Thabrani dalam kitab al-Kabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
ِاثْنَانِ يُعَجِّلُهُمَا اللهُ فِى الدُّنْيَا البَغْىُ وعقوقُ الوَالِدَيْنِِ.
Ada dua macam perbuatan dosa yang disegerakan siksaannya di dunia oleh Allah SWT, yaitu :zina dan menyakiti kedua orang tua.

1.5 Keutamaan (Fadhilah) Birrul Walidain
Berdasarkan hadits yang diterima dari Ibnu Mas’ud, bahwa birrul walidain termasuk amal yang paling dicintai Allah SWT. Ibnu Mas’ud menuturkan,
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ.
Aku bertanya kepada Rasulullah SAW,”Amal perbuatan apakah yang paling disukai Allah?. Dalam riwayat yang lainnya disebutkan,”Amal perbuatan apakah yang paling utama?. Rasulullah SAW menjawab,”Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi,”Kemudian apa lagi?”Rasulullah SAW menjawab,”Berbaktilah kepada kedua orang tua.”(HR. Bukhari)
Dalam hadits yang lain disebutkan, bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat dijadikan sebagai penebus dosa-dosa besar. Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki datang menghadap Nabi SAW, lalu bertanya,”Sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa besar, apakah ada taubat bagiku? Nabi SAW balik bertanya,”Apakah kamu mempunyai ibu? Dalam riwayat lain disebutkan,”Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua? Lelaki itu menjawab,”Yidak ada.” Nabi bertanya,”Apakah kamu mempunyai bibi (saudara perempuan ibu)? Ia menjawab,”Ya, punya.” Nabi SAW bersabda,”Berbaktilah kepadanya (sebagai penebus dosamu).”(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hiban)

1.6 Kisah Teladan Seputar Birrul Walidain
Saad bin Abi Waqas menceritakan kisah yang terjadi pada dirinya berkenaan dengan sebabturunnya surat Lukman ayat 15.
”Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku, sewaktu aku masuk agama Islam, ibuku berkata kepadaku : Wahai Saad! Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang ini? Tinggalkanlah agama yang sekarang kamu peluk, atau aku tidak akan makan dan minum hingga mati, sehingga kamu kelak akan dicela dan dicaci karena perbuatanmu itu. Kemudian kamu akan dicap sebagai pembunuh ibumu sendiri.

Jawab Sa’ad,”Wahai ibu! Janganlah engkau melakukan hal itu; karena sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku yang sekarang aku peluk, walau bagaimanapun juga. Kemudia aku biarkan ibuku dalam sehari semalam, sedangkan kondisi ibuku nampak sangat payah. Ketika aku melihat kondisi ibuku semacam itu, segara aku berkata kepadanya,”Wahai ibuku! Perlu engkau ketahui, bahwa, demi Allah jika engkau memiliki seratus nyawa, kemudian engkau keluarkan satu persatu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Apabila engkau suka, silahkan makan, dan apabila tidak suka maka janganlah engkau melakukannya.Tatkala ibuku melihat sikapku yang sungguh-sungguh, barulah ia mulai mau makan.

Modul 10: Haji dan Filosofinya

1.1 Pengertian Haji
Haji menurut bahasa adalah al-Qashdu, artinya bermaksud. Adapun menurut istilah adalah, bermaksud melakukan kunjungan ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah thawwaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh manasik haji dalam rangka menyambut perintah Allah SWT dan untuk mendapatkan keridlaan-Nya.

1.2 Keutamaan Haji
Ada beberapa keutamaan haji yang dijadikan oleh Allah sebagai dorongan bagi umat Islam untuk melaksanakannya.
Di antara keutamaan tersebut adalah :

1. Haji adalah Amal yang Paling Afdlal
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,”Rasulullah SAW ditanya,”Wahai Rasulullah! Amal apakah yang lebih utama? Rasulullah SAW bersabda,”Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian apa lagi wahai Rasulullah? Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.” kemudian apa lagi wahai Rasulullah? Beliau menjawab,”Haji yang mabrur.”(HR. Bukhari Muslim).

2. Haji adalah Perbuatan Jihad
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Dari Aisyah, Ummul Mukminin r.a, bahwa ia telah berkata,”Wahai Rasulullah! Kami melihat bahwa amal yang paling utama adalah berjihad, maka bolehkah kami berjihad? Rasulullah SAW menjawab,”Tidak, akan tetapi amal yang paling utama adalah haji yang mabrur.”(HR. Bukhari Muslim)

3. Haji dapat Menghapus Dosa
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia telah berkata, ”Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa yang melaksanakan haji, dengan tanpa melakukan hubungan badan dan tidak berbuat maksiat, maka ia akan kembali seperti hari di mana ia dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Jamaah Haji adalah Delegasi Allah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنْ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَ لَهُمْ.
Dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau telah bersabda,”Jemaah haji dan umrah adalah delegasi Allah, apabila mereka berdo’a, maka do’anya akan diijabah, dan apabila mereka memohon ampun, maka dosanya akan diampuni.”(HR. Nasaa`I dan Ibnu Majah).

5. Ibadah Haji Pahalanya adalah Surga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,”Haji mabrur, tidak ada pahala baginya melainkan surga. (HR Ahmad).

1.3 Keutamaan Mengeluarkan Biaya Haji
Didalam sebuah hadist dijelaskan bahwa harta yang dikeluarkan untuk ibadah haji bagaikan harta yang dikeluarkan untuk jihad fisabilillah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّفَقَةُ فِي الْحَجِّ كَالنَّفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِسَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ.
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia telah berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Nafkah yang dikeluarkan dalam haji bagaikan harta yang dikeluarkan untuk jihad fi sabilillah, sebanding dengan tujuh ratus kali lipat.(HR. Ahmad)

1.4 Menunaikan Ibadah Haji Wajibnya Hanya Satu Kali
Para ulama ahli fiqih besepakat bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji itu tidak berulang, melainkan cukup satu kali saja seumur hidup, kecuali apabila bernadzar untuk melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia telah berkata,”Rasulullah SAW berkhutbah dihadapan kami, beliau bersabda,”Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka hendaklah kalian melakukan ibadah haji.” kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah,”Apakah setiap tahun wahai Rasulullah! beliau pun terdiam, sehingga orang itu mengulangi pertanyaan hingga tiga kali. Kemudia setelah itu beliau bersabda,” apabila aku katakan ya, niscaya akan menjadi wajib dan kalian tidak akan dapat melaksanakannya, kemudian Rosululloh SAW bersabda” ikutilah apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya hal yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah, banyak bertanya dan menyalahi para nabinya, maka apabila aku menyuruh kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, dan apabila aku telah melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah. (HR. Muslim)

1.5 Haji Wajib Dilaksanakan Baik Segera Ataupun Ditangguhkan
Imam Syafi’i, Stauri, Auza’ai dan Muhammad bin al-Hasan berpendapat bahwa ibadah haji diwajibkan dengan waktu pelaksanaan tidak harus segera, melainkan boleh dilaksanakan kapan saja, dan tidak berdosa walaupun mengakhirkannya, yang penting sebelum wafat ibadah haji tersebut sudah dilaksanakan. Karena Rasulullah SAW pun mengakhirkan pelaksanaan ibadah haji sampai tahun ke 10 H bersama istri-istrinya dan para sahabat, padahal kewajiban haji tersebut turun pada tahun ke 6 H, maka apabila kewajiban haji itu harus dilaksanakan dengan segera, tidak mungkin Rasulullah SAW mengakhirkanya.

1.6 Etika Pelaksanaan Ibadah Haji
a. Dari mulai berangkat sampai ihram
• Memperbanyak taubat, memohon maaf kepada orang yang pernah didzalimi, menyelesaikan hutang dan mempersiapkan nafkah untuk keluarga yang ditinggal sampai kembali dari pelaksanaan ibadah haji.
• Mencari teman yang shaleh yang selalu membimbing dan mendukung untuk melakukan kebaikan, ketika lupa ia mengingatkannya dan ketika ingat maka ia menolongnya.
• Sebelum keluar dari rumah, melaksanakan sholat terlebih dahulu dua rakaat , dirakaat pertama membaca surat al-Kafirun dan rakaat kedua surat al-Ikhlas kemudian setelah selesai sholat membaca do’a bepergian.
• Ketika menaiki kendaraan membaca do’a untuk dikendaraan, dan ketiak turun dari kendaraan disunnahkan untuk tidak turun kecuali diwaktu siang.
b. Ketika ihram di miqat
• Sebelum mengenakan kain ihram, mandi terlebih dahulu, memotong kuku, merapihkan rambut dan mencukur kumis.
• Setelah mandi mengenakan kain ihram dan wangi-wangian.
• Bersabar untuk menunggu kendaraan, dan ketika kendaraan tiba maka berniatlah untuk melaksanakan haji, kemudian membacakan talbiah disepanjang perjalanan
c. Ketika memasuki Makkah sampai thawwaf.
• Menjaga syarat sah sholat dari mulai thoharoh, suci dari hadas besar dan kecil, bersih pakaian dan badan dari najis serta menutupi aurat.
• Selama thawwaf dari awal sampai akhir menjadikan ka’bah berada disebelah kiri.
• Sebelum memulai thawwaf membaca do’a terlebih dahulu.
• Setelah selesai thawwaf tujuh kali putaran, hendaknaya berdo’a di Multazam, kemudian sholat dua rakaat dibelakang maqam Ibrohim.
d. Ketika sa’i
Setelah selesai thawwaf, maka keluarlah dari pintu shofa yang kemudian akan sampai dibukit shofa, setelah sampaimaka naiklah kebukit shofa tersebut, kemudian mengucapkan takbir dan memulai sa’i sampai tujuh kali putaran.
e. Ketika wukuf
Selama berlangsungnya thawwaf dianjurkan untuk memperbanyak do’a kepada Allah SWT sampai thawwaf selesai.

1.7 Adab-Adab Ibadah Haji
• Harta yang digunakan untuk ibadah haji adalah harta yang halal, kemudian selalu berupaya untuk menghindarkan diri dari kesibukan yang dapat memalingkan hati dari kekhusyuan ibadah haji, sehingga semangat yang ada hanyalah semangat untuk mendapatakan ridlo Allah SWT dan hatipun selalu tenang serta terkonsentrasikan untuk berdzikir dan mengagungkan syiar-syiar Allah SWT.
• Memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat dan selalu membersihkan diri dengan memperbanyak infak shadaqah tanpa berlebihan dan kikir, karena salahsatu ciri dari haji mabrur adalah perkataan yang lembut dan memperbanyak infak shadaqah. Nabi SAW bersabda:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ . قَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا الْحَجُّ الْمَبْرُورُ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ.
” Tidak ada lagi pahala bagi haji mabrur kecuali surga.(HR. Ahmad, dari Abu Hurairah r.a) Para sahabat bertanya,”wahai Rasulullah! apa yang dimaksud dengan haji mabrur? Rasulullah SAW menjawab, haji mabrur adalah seseorang yang setelah melaksanakan hajinya ia selalu memberi makanan (rajin shadaqah) dan menebarkan salam.(HR Ahmad)
• Meninggalkan perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menjauhkan diri dari kemaksiatan serta menghindarkan diri dari sikap berbantah-bantahan, oleh karenanya Rasulullah SAW telah menjadikan perkataan yang lembut sebagai salah satu ciri dari haji mabrur.
• Apabila memungkinkan untuk berjalan kaki, maka menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki lebih utama, akan tetapi apabila tidak memungkinkan, maka menggunakan kendaraan akan lebih utama.
• Berpenampilan sederhana, sehingga dengan demikian diharapkan orang yang melaksanakan ibadah haji dapat menyadari bahwa sifat sombong adalah sifat yang harus dihijauhkan dari kehidupan seorang muslim.
• Menyembelih hewan qurban walaupun bagi orang yang melaksanakan ibadah haji tidak wajib, dan hendaknya berupaya untuk mendapatakan domba yang gemuk dan mahal.
• Berupaya untuk selalu ikhlas dalam segala kebaikan yang dilakukan seperti ketika berinfak dan menyembelih hewan qurban , dan selalu berupaya untuk sabar serta ikhlas dalam menerima segala ujian dan musbah yang mungkin akan didapatkan selama melaksanakan ibadah haji, karena itu semua merupakan salah satu ciri diterimanya ibadah haji.

1.8 Amal-Amal Batin dalam Melaksanakan Ibadah Haji
• Alfahmu, maksudnya adalah memahami dengan baik bawa seorang jema’ah haji tidak akan dapat mencapai ridlo Allah SWT, kecuali dengan membersihkan diri dari berbagai syahwat, menahan diri dari kenikmatan duniawi dan mengkonsentrasikan hati untuk selalu ikhlas dalam segala kebaikan yang dilakukannya selama ibadah haji.
• Rindu kepada baitullah(rumah Allah) setelah memahami bahwa itu adalah betul-betul rumah Allah SWT, sehingga tidak ada lagi tujuan yang dimiliki dalam melaksanakan ibadah haji itu kecuali berkunjung kepada Allah SWT, dengan harapan diakhirat kelak dapat dipertemukan juga dengan Allah SWT.
• Al-’azmu atau niat yang kuat untuk meninggalkan keluarga, negeri dan segala syahwat dunia demi menyambut perintah Allah SWT dengan melaksanakan ibadah haji untuk mendapatkan ridlo-Nya.
• Berniat dengan ikhlas untuk menghilangkan kedzaliman diri dengan bertaubat yang sesungguhnya kepada Allah SWT dari seluruh kemaksiatan yang pernah dilakukan.
• Mencari bekal dari yang halal untuk perjalanan haji, agar dapat mengambil pelajaran bahwa perjalanan keakhirat itu lebih jauh dan tidak ada lagi bekal yang lebih bermanfa’at kecuali bekal ketakwaan, dan dapat menyadari bahwa bekal apapun yang bersifat duniawi pasti akan ditinggalkan.
• Ketika kendaraan yang akan dikendarai tiba, hendaklah besyukur dan mengingat negeri akhirat yaitu dengan merenungkan bahwa ketika sudah wafat dan menjadi mayat maka ia akan dibawa dengan kendaraan khusus untuk menuju alam kubur dan mempertanggungjawabkan ’amal perbuatan ketika di dunia.
• Ketika membeli dan mengenakan kain ihram, hendaklah merenungkan dan menyadari akan suatu peristiwa dimana manusia dibungkus dengan kain yang putih yaitu kain kafan untuk menghadap Allah SWT, dan ini adalah peristiwa yang pasti akan terjadi pada setiap orang.
• Ketika keluar meninggakan negeri hendaknya merenungkan bahwa ia pasti akan meninggalkan dunia dengan segala kemewahannya untuk menghadap Dzat yang maha menguasai dan merajai yakni Allah SWT.
• Ketika sampai di miqat(batas untuk mengenakan kain ihram), hendaknya merenungkan kematian yang akan memisahkannya dari dunia dan menghantarkannya kealam akhirat dengan melalui hari kiamat dansegala kedahsyatannya.
• Ketika ihram dan membacakan talbiah, hendaknya menyadari bahwa ketika itu ia sedang menyambut perintah Allah SWT, dan sikap seperti harus senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari, sehingga ia akan selalu dapat berharap ibadahnya diterima oleh Allah SWT.
• Ketika memasuki Makkah hendak bersyukur bahwa ia telah sampai dengan selamat dan selalu berharap agar diselamatkan dari adzab hari kiamat, serta selalu merasa takut kalau ia akan merugi dan dimurkai Allah SWT.
• Ketika melihat baitullah, hendaknya mengagumi keagungan baitullah, dan mengungkan Allah SWT Dzat yang maha agung, serta berdo’a agar dapat melihat Allah SWT nanti diakhirat.
• Ketika thawwaf, hendaknya menyadari bahwa itu adalah sholat, dan hendaknya dimunculkan didalam hati keagungan Allah SWT, rasa takut akan ’adzab Allah, pengharapan pada rahmat Allah dan kecintaan kepada-Nya.
• Ketika berdo’a didekat multazam, hendaknya niat yang ada didalam hati adalah untuk mendapatkan kedekatan, kecintaan dan kerinduan ke baitullah serta kepada Allah SWT.
• Ketika sa’i, hendaknya menyadari bahwa itu adalah perlambang dari keikhlasan dalam melaksanakan pengabdian kepada AllahSWT, dengan harapan dalam kehidupan sehari-hari pun selalu ikhlas dalam rangka pengabdian diri kepada Allah SWT.
• Ketika melempar jumroh, hendaknya diniatkan untuk memperlihatkan ketaatan kepada perintah Allah SWT untuk mencontoh Rasulullah SAW, tanpa harus mempertimbangkan akal.
• Ketika menyembelih hewan qurban , hendaknya menyadari bahwa itu adalah bentuk taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah SWT, maka sempurnakanlah taqarrub tersebut dan mohonlah kepada Allah SWT agar diselamatkan dari ’adzab neraka.
• Ketika berziarah ke Madinah dan ke Maqam Nabi SAW, hendaknya menyadari bahwa itu adalah kota yang dipilihkan Allah untuk Rasulullah SAW, dan ketika berada di Maqam Nabi hendaknya semakin merasa dekat dan cinta kepada Nabi seakan hidup bersama Nabi SAW.

1.9 Kisah Teladan Seputar Haji
Dikisahkan, ada seorang mahasiswa yang ditugaskan untuk membimbing jemaah haji dari Indonesia, ketika itu ia ditugaskan untuk membimbing jemaah haji yang berasal dari kota Bekasi. Dari mulai wukuf di Arafah, ia sangat setia untuk menemani para jemaah haji tersebut bersama dengan ketua kloternya. Ketika mau melempar Jumrah Aqabah di pagi hari (waktu shubuh), ia pada pada mulanya berjalan bersama dengan ketua kloternya, berikut para jemaah haji tersebut, kemudian ketika sampai di terowongan Mina, dan sebentar lagi sampai di pelataran pelemparan Jumrah, ketua kloter jemaah haji berkata kepada mahasiswa tersebut,”Nak, tolong jangan menjauh dari jamaah kami ini, agar nanti kita bisa kembali sama-sama ke tempat penginapan.”
Mahasiswa tersebut menjawab, ”Mohon maaf, untuk kali ini saya tidak bisa bareng; karena saya ingin leluasa melempar jumrah, dan bapak tidak usah khawatir pasti saya akan menemukan tempat penginapan bapak dan para jemaah yang lainnya.”
Dari jawaban mahasiswa tersebut, terlihat ada sedikit kesombongan, padahal ia tengah melaksanakan ibadah haji, dan ibadah haji harus terhindar dari sifat sombong seperti itu.

Ternyata, setelah selesai melontar jumrah, mahasiswa tersebut tidak dapat menemukan penginapan ketua kloter dan jemaah hajinya, bahkan sampai ibadah haji selesaipun, ia tidak sempat bertemu lagi dengan jemaah haji tersebut.

Modul 9: Puasa (Shaum) dan Filosofinya

1.1 Pengertian Shaum
Shaum atau shiyam menurut secara etimologi adalah al-Imsaak yang berarti menahan diri. Syekh muhammad Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya mengatakan, bahwa shaum menurut bahasa adalah al-Imsaaku ‘anisy syai’I wat tarku lahu, yang berarti menahan diri dari sesuatu dan meninggalkannya. Dan shaum menurut bahasa berarti al-Imsaakul muthlaq (menahan diri secara mutlak), maka dalam hal ini, orang yang menahan diri dari bicara (berdiam diri) pun bisa dikatagorikan sebagai orang yang shaum (shaimun), sebagaimana firman Allah SWT,
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا.
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini" (QS.Maryam (19) : 26)

Sedangan secara syar’i adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya, mulai dari terbit fajar shubuh hingga terbenamnya matahari, disertai dengan niat. Allah SWT berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.Al-Baqarah (2) : 187)
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَذَهَبَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Dari ’Ashim bin Umar, dari ayahnya, ia berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,”Apabila malam telah datang, siang telah lenyap, dan matahari telah terbenam, maka sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang shaum.” (HR.Ahmad)

Dan Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni telah memberikan definisi mengenai shaum secara istilah syar’i, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berjima’, disertai dengan niat, dan dimulai dari terbitnya fajar shubuh hingga terbenam matahari.
Segenap umat Islam sepakat bahwa shaum di bulan Ramadhan itu fardlu (wajib). Hal itu didasarkan kepada firman Allah SWT,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah (2) :183)
Shaum adalah rukun Islam yang keempat. Dan posisi rukun dalam Islam bagaikan pondasi pada rumah. Jika pondasi tersebut rusak atau rapuh, maka rumah tersebut tidak akan bisa berdiri dan sudah bisa dipastikan hancur. Islam adalah agama yang memiliki lima pondasi yang lengkap dan utuh, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum dan haji. Kelima pondasi tersebut dapat mewujudkan sosok Muslim yang sempurna.

Rasulullah SAW bersabda,
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Islam itu dibangun di atas lima pondasi, yaitu persaksian, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan shaum Ramadhan.(HR. Bukhari dari Ibnu Umar)

Barangsiapa yang tidak melaksanakan shaum Ramadhan sekalipun satu hari tanpa udzur (alasan yang dibenarkan syara’), maka ia telah melakukan satu dosa besar, dan akan mendapatkan siksaan yang keras.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah SAWpernah bermimpi, beliau bersabda,
”Sampai ketika aku berada di tengah gunung, seketika itu terdengar suara-suara keras. Maka aku bertanya,”Suara apa itu? mereka menjawab,”Itu adalah teriakan penghuni neraka. Kemudian dia (Jibril) membawaku pergi, seketika itu aku berada di hadapan suatu kaum yang digantung dengan kaki di atas dengan sudut mulut terkoyak, dari sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka aku bertanya,”Siapa mereka itu? Jibril menjawab,”mereka adalah orang-orang yang berbuka shaum sebelum sampai pada waktunya.”(Shahih Targhib wat Tarhib : 1/420).

1.2 Pembagian Shaum
Secara umum, shaum dibagi kepada dua bagian, yaitu shaum wajib dan shaum sunnah.

1.2.1 Shaum Wajib
Yang dimaksud dengan shaum wajib adalah shaum yang apabila dilaksanakan pelakunya akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan ia akan mendapat siksa yang berat.
Menurut Doktor Wahbah Az-Zuhaili, wajib adalah ketentuan syara’ yang ditujukan kepada mukallaf agar dilaksanakan secara penuh. Seorang mukallaf wajib menunaikan segenap kewajibannya, karena dengan menunaikannya ia akan memperoleh pahala, dan jika tidak maka ia akan memperoleh sanksi yang berat. Dan terkait dengan shaum wajib, beliau menegaskan dalam kitabnya, bahwa ia dilaksanakan karena tiga hal, yaitu : karena nadzar, kifarat, qadla dan Ramadhan.

•Shaum Nadzar
Nadzar secara bahasa adalah aujaba, yang berarti mewajibkan. Ketika seseorang mengatakan,”Apabila aku berhasil dalam karirku, maka berjanji akan shaum tiga hari berturut-turut.”. kata-kata tersebut termasuk nadzar (janji) seseorang kepada Allah SAW, sehingga ia wajib melaksanakannya.

•Shaum Kifarat
Kifarat secara bahasa berarti mengganti, menutupi, membayar dan memperbaiki. Shaum kifarat wajib dilaksanakan manakala seseorang telah melakukan kemaksiatan yang mengharuskan kepadanya membayar kifarat, seperti dalam kasus suami yang menzhihar istrinya, atau membatalkan shaum Ramadhan dengan melakukan hubungan suami istri pada siang hari dan lain sebagainya.

•Shaum Qadla
Qadla menurut bahasa berarti, memenuhi, melaksanakan, membayar atau melunasi. Sedangkan menurut istilah adalah shaum yang dilakukan dalam rangka mengganti (membayar) kekurangan hari dalam shaum wajib di bulan Ramadhan, ketika seseorang tidak melaksanakannya secara sempurna; dikarenakan ada udzur syar’i, seperti sakit atau bepergian (safar).

•Shaum Ramadhan :
Ramadhan secara bahasa berarti membakar. Sedangkan menurut istilah, adalah shaum yang dilakukan pada bulan Ramadhan selama sebulan penuh. Dan bulan Ramadhan mempunyai keutamaan yang sangat besar dan keistimewaan yang bermacam-macam yang tidak dimiliki bulan-bulan yang lain. Karena keutamaan bulan Ramadhan, maka setiap kebaikan dan bermacam-macam perbuatan baik pun diutamakan, seperti sedekah, ibadah atau shalat sunnah pada malam Ramadhan (qiyamul lain), membaca al-Qur’an, I’tikaf, umrah dan lain sebagainya.

1.2.2 Shaum Sunnah
Shaum sunnah adalah shaum yang apabila dilaksanakan pelakunya akan memperoleh pahala, dan jika tidak maka ia tidak berdosa. Berdasarkan beberapa keterangan hadits Rasulullah SAW, ada beberapa shaum yang disunnahkan untuk dilaksanakan oleh seorang Muslim, seperti : shaum ‘Arafah, Asyura`, Tasu’a, enam hari pada bulan Syawwal, pertengahan pertama pada bulan Sya’ban, sepuluh pertama pada bulan Dzulhijjah, tiga hari pada setiap bulan (ayyamul bidl), shaum satu hari dan berbuka satu hari (shaum Daud), senin dan kamis.

1.3 Rahasia Shaum
1.3.1 Aspek Ruhiyyah


•Shaum dapat meningkatkan derajat ketakwaan.
Ketika seorang hamba menjalankan ibadah shaum, maka ia akan berupaya dengan optimal dan maksimal untuk selalu memperbanyak aktivitas ketaatan kepada Allah SWT dan selalu menghindarkan diri dari segala bentuk kemaksiatan, dan ketika seseorang sudah sanggup melakukan hal-hal yang demikian itu, berarti ia sudah bisa mengaplikasikan hakikat daripada ketakwaan kepada Allah Azza Wa Jalla. Allah SWT berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-baqarah (2) :183)

•Shaum dapat mengendalikan hawa nafsu.
Rasulullah SAW bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Wahai para pemuda! Barangsiapa telah mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah; karena sesungguhnya hal itu lebih dapat menjaga pandangan mata dan menjaga farji (kehormatan). Dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya ia melakukan shaum; Karena sesungguhnya shaum itu adalah perisai.(HR. Bukhari, Muslim, An-Nasaai` dan yang lainnya).

•Shaum dapat melahirkan sikap khauf (takut) dan hayaa` (malu) :
Yang dimaksud dengan khauf (takut) di sini adalah, takut akan adzab Allah SWT yang sangat pedih, apabila meninggalkan kewajiban shaum. Sedangkan yang dimaksud dengan malu (al-hayaa`) adalah malu karena Allah SWT seandainya tidak menjalankan kewajiban (ibadah) dengan maksimal.

•Shaum dapat melahirkan sikap disiplin tingkat tinggi.
Ibadah shaum disyari’atkan Allah SWTmulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Maka barangsiapa yang menjalankan ibadah shaum hendaknya mengikuti aturan tersebut, Allah SWT berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ.
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.(QS. Al-Baqarah (2) : 187)
Firman Allah di atas menegaskan kepada orang-orang yang menjalankan shaum, bahwasanya mereka harus berpegang teguh dengan ketetapan waktu shaum yang sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya, sehingga apabila dilanggar, maka akan berdampak pada batalnya shaum, bahkan dapat mengundang murka Allah SWT.

1.3.2 Aspek Sosial
Setiap orang yang melaksanakan shaum, pasti semuanya akan merasakan lapar dan dahaga, tanpa terkecuali, orang kaya pun dapat merasakannya, sehingga ia bisa merasakan apa-apa yang di alami oleh orang-orang miskin, dari rasa lapar dan dahaga. Dengan demikian, akan timbul dalam jiwanya perasaan kasih sayang terhadap si miskin, untuk dapat memberikan bantuan dari sebagian harta yang dimilikinya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa peduli terhadap sesama manusia adalah hal yang mutlak harus dimiliki oleh oleh setiap umat Rasulullah SAW yang mengaku beriman, sehingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna tanpa dibarengi sikap peduli terhadap sesamanya.

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Dari Anas, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda,”Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.(HR. Bukhari)

Dan pada suatu kesempatan, baginda Rasul SAW memperingatkan, bahwa orang yang tidur dengan nyenyak, karena kekenyangan, sementara tetangganya merintih-rintih karena lapar, sungguh orang tersebut tidak akan masuk surga.

1.3.3 Aspek Kesehatan
Makan dan minum dengan tidak berlebihan telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, yang kemudian diaplikasikan dalam salah satu syari’at, yaitu ibadah shaum, sehingga wajar apabila shaum sangat membantu seseorang dalam memelihara atau menjaga kesehatannya; mengingat di dalamnya setiap orang secara tidak langsung memberikan kesempatan istirahat kepada perutnya.

Allah SWT berfirman,
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf (7):31)

Dan Rasulullah SAW bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ.
Tiada bejana yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya.(HR.Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Miqdam bin Ma’di)

Menurut para pakar kesehatan, bahwa manusia tidak boleh makan secara berlebihan, sebab hal yang demikian itu dapat menimbulkan penyakit yang sukar disembuhkan. Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi dalam kitabnya menutip perkataan salah seorang pakar kesehatan Arab, Al-Harts Ibnu Kildah, ia mengatakan,
َالْمَعِدَةُ بَيْتُ الدَّاءِ وَاْلحِمْيَةُ رَأْسُ الدَّوَاءِ وَأَعْطِ كُلَّ بَدَنٍ مَاعَوَّدْتَهُ .
Perut itu adalah tempatnya penyakit, dan pemeliharaannya adalah obat yang utama, maka berikanlah kepada badan apa-apa yang telah Anda biasakan.

1.4 Syarat-Syarat Batin dalam Shaum
Agar shaum yang dilakukan oleh seorang hamba itu bernilai disisi Allah SWT, maka harus dibarengi dengan mengikutkan batin dalam shaum tersebut. Agar batin itu selalu terpelihara dalam keadaan shaum, maka ada beberapa syarat yang harus dilakukan, yaitu:

•Menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang dan dari hal-hal yang dapat memalingkan hati dari berdzikir kepada Allah SWT. Nabi SAW bersabda:
النَّظْرُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ لَعَنَهُ اللهُ فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللهِ تَعَالَى أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِيْمَانًا يَجِدُ حَلاَوَتَهُ فِيْ قَلْبِهِ.
”Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis yang dilaknat Allah SWT, maka barangsiapa yang meninggalkannya karena takut akan ’adzab Allah SWT, maka Allah akan menambahkan keimanan dalam hatinya dan orang tersebut akan dapat merasakan manisnya iman”.(HR Hakim).

•Menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, dusta, ghibah, mengadu domba dan berbantah-bantahan. Kemudian lisannya hanya digunakan untuk berdzikir kepada Allah SWT dan membaca Al-Quran, inilah yang disebut dengan shaum lisan. Nabi SAW bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ.
” Sesungguhnya shaum itu adalah prisai, maka apabila salah seorang diantara kamu sekalian berpuasa, hendaknya ia tidak berkata dan berbuat yang sia-sia, dan apabila ada seseorang yang mengajak bertengkar atau mencacinya hendaknya ia mengatakan dengan lisannya, ” sesungguhnya aku adalah orang yang sedang berpuasa” (HR Bukhari Muslim)

•Menjaga pendengaran dari hal-hal yang dilarang, karena segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan, maka dilarang pula untuk didengarkan, oleh karenanya Allah SWT menyamakan antara orang yang mendengarkan perkataan atau berita bohong dengan orang yang memakan harta haram.

Allah SWT berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi Mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. Al-Maidah (5) :42)

•Menjaga anggota badan yang lainnya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, dan menjaga perut dari makanan yang diharamkan dan masih syubhat ketika berbuka shaum.

•Menyederhanakan makan (tidak terlalu banyak) ketika berbuka, sehingga tidak terasa berat untuk melaksanakan ibadah setelahnya berbuka walaupun makanan itu secara hukum dihalalkan.

•Setelah berbuka hendaknya hati orang yang shaum selalu merasa risau karena sesungguhnya ia tidak tahu apakah shaumnya itu diterima sehingga ia layak mendapatkan kebahagiaan ataukah shaumnya itu ditolak oleh Allah SWT sehingga ia termasuk dari golongan hamba yang dimurkai Allah SWT. Dengan demikian diharapkan ia akan selalu beristighfar untuk kekurangan yang ada, dan selalu berdo’a dengan khusyu’ agar shaumnya diterima dan itu termasuk bagian dari ibadah.

1.5 Kisah Teladan Seputar Shaum
Ketika Ramadhan akan tiba, dikalangan masyarakat Mesir akan terlihat tenda-tenda yang sudah siap dipasang, terlebih di mesjid-mesjid besar, pemandangan seperti itu bukanlah untuk mengadakan sebuah pesta pora atau peringatan hari besar Islam, melainkan mereka sengaja memasang tenda-tenda tersebut untuk membuat dapur umum yang siap menjamu orang-orang yang shaum di saat mereka akan berbuka shaum.
Pemandangan seperti itu, bukanlah satu atau dua hari saja, melainkan selama satu bulan Ramadhan dan bukan saja di mesjid-mesjid, akan tetapi tidak jarang di rumah-rumah penduduk pun secara pribadi mereka membuat dapur umum sendiri.
Apabila diukur dengan hawa nafsu, sangat boleh jadi pemandangan yang seperti itu, sulit untuk didapatkan, akan tetapi ketika diukurnya dengan keimanan, maka siapapun tentunya akan berlomba untuk melakukannya.

Keimanan itulah boleh jadi yang mendasari masyarakat Mesir dalam mendirikan tenda-tenda untuk dapur umum, karena mereka yakin dengan memberi buka kepada orang-orang yang shaum, mereka akan memperoleh pahala yang berlipat ganda, sebagaimana sabda Nabi SAW,”Barangsiapa yang memberi makanan berbuka kepada orang yang shaum, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang shaum tersebut tanpa dikurangi sedikitpun pahala daripadanya.”