Rabu, 22 Desember 2010

152 Menegakkan Amar Ma'ruf

(NUR ANDIKA APRIYUDA)

Barang siapa yang menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran (menegakkan amar maruf nahi mungkar), maka sepatutnya dia itu :
(1) seorang yang alim (berilmu) terhadap apa yang dia suruh, berilmu terhadap apa yang dia larang;
(2) seorang yang berlemah-lembut pada apa yang dia suruh dan berlemah-lembut pada apa yang dia larang;
(3) seorang yang bijaksana pada apa yang dia suruh dan bijaksana pada apa yang dia larang.

Maka berilmu sebelum menyuruh, dan berlemah-lembut itu di waktu menyuruh, serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya dia tidak seorang yang alim, tidak boleh untuk mengikuti apa yang tidak ia ketahui. Kalau seandainya dia itu seorang yang alim, tetapi tidak berlemah-lembut maka dia seperti dokter yang tidak mempunyai sikap lemah-lembut, maka dia bersikap kasar terhadap pesien sehingga pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya. Sungguh Allah Taala telah berfirman kepada Musa dan Harun : [artinya] : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (kepada firaun) dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut .(Q.S. 20;44)

Kemudian, kalau dai itu mau menegakkan amar maruf nahi mungkar –biasanya- maka dia mesti disakiti. Oleh karena itu dia harus sabar dan bersikap bijaksana, sebagaimana firman Allah Taala : [artinya] : Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) .(Q.S.31;39).

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan nabi-Nya (Muhammad ) untuk bersabar menghadapi siksaan kaum musyrikin di berbagai tempat di Al Quran, padahal dia saw itu pemimpin orang-orang yang menegakkan amar maruf nahi mungkar. Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya adalah mentaati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadapnya. Apabila dia mengerjakan perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi hamiyah (fanatik golongan atau hizbiayah) yang tidak diterima Allah.

Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sumah (reputasi / ingin didengar orang) dan riya (disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya bahwa dia itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari pertolongan untuk memenangkan dirinya sendiri, sehingga syeitan pun mendatanginya.

Pertama-tama perbuatannya itu adalah karena Allah, kemudian dia dimasuki oleh hawa nafsu, dengan hawa nafsu itu dia mencari orang yang akan menolongnya terhadap apa yang telah menyakiti dirinya. Kadang-kadang dia bersikap melampaui batas terhadap orang yang telah menyakitinya itu.


Demikianlah halnya orang-orang yang memiliki perkataan (pemikiran) yang sesat, jika setiap orang dari mereka meyakini bahwa kebenaran ada pada dirinya dan dia sajalah yang berada di atas sunnah. Maka kebanyakan dari mereka memiliki unsur hawa nafsu dalam sikapnya itu untuk mempertahankan wibawa atau kedudukannya dan seluruh apa yang di nisbahkan kepada dirinya. Mereka tidak berniat, bagaimana kalimat Allah ini menjadi tinggi, bagaimana agama ini seluruhnya hanya untuk Allah. Akan tetapi mereka marah kepada orang yang menyelisihi mereka, meskipun orang tersebut seorang yang mujtahid yang diberi uzur serta tidak dimarahi Allah. Dan mereka senang (ridho) terhadap orang yang setuju dengan mereka miskipun dia seorang yang bodoh, tujuannya jelek, tidak mempunyai ilmu serta tidak mempunyai niat baik. Maka tindakkan ini mengakibatkan kepada perbuatan memuji orang yang tidak dipuji Allah dan Rasul-Nya, dan mencela orang yang tidak dicela Allah dan Rasul-Nya dan jadilah loyalitas dan permusuhan mereka berdasarkan hawa nafsu belaka, bukan berdasarkan agama Allah dan Rasul-Nya.!

Inilah kondisi orang-orang kafir, mereka tidak mencari kecuali hawa nafsu mereka. Dan berkata : Ini teman kita dan itu musuh kita . Mereka tidak akan melihat kepada loyalitas karena Allah dan Rasul-Nya dan permusuhan karena Allah dan Rasul-Nya. Dari sinilah tumbuhnya fitnah di antara manusia.
Allah berfirman : [artinya] : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah .(Q.S. 8;39)

Apabila agama itu seluruhnya tidak dimurnikan untuk Allah, maka timbullah fitnah. Padahal pokok agama itu adalah mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berloyal demi Allah, bermusuhan karena Allah, dan beribadah hanya karena Allah. Minta pertolongan dengan Allah. Takut kepada Allah. Harapan hanya kepada Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi juga karena Allah. Pokok-pokok ini hanya bisa diwujudkan dengan cara mutabaah (mengikuti) Rasulullah yang mana suruhannya adalah suruhan karena Allah dan larangannya adalah larangan karena Allah. Permusuhannnya adalah permusuhan karena Allah. Ketaatannya adalah ketaatan karena Allah…

Orang yang mengikuti hawa nafsu, akan dibutakan dan ditulikan oleh hawa nafsu itu. Sehingga, dia tidak bisa mengingat hal-hal yang merupakan milik Allah dan Rasul-Nya dan tidak mampu mencarinya (tidak mampu mencari hal-hal yang merupakan milik Allah dan Rasul-Nya –pent). Dia tidak ridho karena keridhoan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak marah karena kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi dia ridho bila mendapatkan sesuatu yang diridhoi oleh hawa nafsunya, dan marah bila menemukan sesuatu yang bisa membangkitkan kemarahan hawa nafsunya.


Dalam keadaan seperti itu, dia juga mempunyai segelintir syubhah agama !!! yaitu sesungguhnya yang dia ridhoi dan yang dia benci adalah dikarenakan (karena membela) sunnah, dikarenakan al haq (kebenaran) dan agama !!!. Jika ditakdirkan bahwa yang dia pegang itu adalah semata-mata kebenaran –agama Islam– sedangkan tujuannya (niatnya) bukanlah menjadikan agama ini seluruhnya karena Allah, dan bukan menjadikan kalimat Allah itu menjadi tinggi, akan tetapi tujuannya (niatnya) adalah hamiyah (taashub atau hizbiyah) terhadap dirinya dan golongannya, atau tujuannya riya (disimulasi) supaya dia diagung-agungkan dan disanjung-sanjung, atau dia melakukan hal tersebut supaya dikatakan pemberani, atau karena kepentingan dunia. Maka perbuatan itu bukan karena Allah, dan bukan pula jihad di jalan Allah.


Lalu bagaimana (jadinya), jika orang yang mendakwakan kebenaran dan sunnah itu, sebagaiamana lawannya juga mendakwakan seperti itu; pada dirinya ada kebenaran dan kebatilan, ada sunnah dan bidah, dan pada diri lawannya juga ada kebenaran dan kebatilan, ada sunnah dan bidah.

Inilah keadaan orang-orang yang sesat (ahli bidah) di mana mereka memecah belah agama mereka sendiri, sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok. Sampai-sampai sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, sebagian mereka menfasiqkan sebagian yang lain. Oleh karena ini Allah Taala berfirman tentang mereka : [artinya] : Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah (mengibadati) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikan itulah agama yang lurus .(Q.S.98;4-5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar