Rabu, 19 Januari 2011

Sayangnya.. Senja itu Bukan Miliknya...

Senja banyak menyimpan sejuta rasa dan cerita. Aku akan mengartikan senja sebagai sesuatu yang sangat indah untuk dinikmati. Ada rasa syahdu saat melihat siluetnya yang menakjubkan. Ada rasa lapang ketika aku melihat perubahan senja yang menampilkan warna jingganya yang ceria hingga hilang perlahan seiring datangnya malam. Senja itu melambangkan bagaimana aku harus bersyukur atas kesempatan dan nikmat Tuhanku padaku.

Seperti hari-hari sebelumnya, tiap sore aku akan menyempatkan waktu di teras rumah sekedar menyaksikan bagaimana senja itu muncul malu-malu menampakkan warna jingganya yang sangat menawan, yang nantinya ia akan berlalu berganti malam.

Sore itu, mataku terpaku pada tiga orang bocah, mereka memakai baju yang sangat kusam dan warnanya telah pudar termakan waktu. Wajah mereka menampakkan gurat-gurat kerasnya hidup. Ya, merekalah tiga bocah yang sering meminta-minta nasi basi dari rumah ke rumah. Entah mengapa, sore itu aku begitu memperhatikan gerak-gerik mereka, padahal aku sering melihat mereka setiap senja seperti ini.

Salah satu dari mereka adalah seorang anak perempuan yang umurnya sekitar sepuluh tahun, ia selalu bersama dengan dua bocah lainnya, yang kuperkirakan berumur dua tahun dan lima tahun. Perlahan mereka berjalan ke arah depan pagar rumahku, aku sendiri masih sibuk mengomentari penampilan lusuh mereka.

“Permisi... kak, minta nasi basi...”, ucap bocah perempuan itu. Aku segera menghampiri mereka.

“Ada apa dek...?” tanyaku. Sebenarnya ucapan bocah itu cukup jelas didengar, bahwa dia minta untuk diberi nasi basi. Namun aku ingin bertanya kembali, hanya untuk memastikan apakah benar apa yang mereka pinta.

“Saya minta nasi basi, kak....” jawab bocah kecil itu.

“Lho kok minta nasi basi? Emang mau dibuat apa nasi basinya?” tanyaku ingin tahu.

“Buat kami makan, kak...” jawabnya. Aku terperangah dengan jawaban bocah itu, semakin bingung aku dibuatnya.

“Kenapa mintanya nasi basi, dek...? ‘Kan adek bisa minta nasi yang nggak basi,” Kataku. Dan dengan nada lirih, ia menjawab sambil menunduk, “Iya kak, kalo nasi basi pasti dikasih,”

Deg! Rasanya aku seperti mendapat tamparan yang sangat keras. Jawaban yang keluar dari mulut bocah kecil ini sangat menyesakkan dada. Kemana saja aku selama ini? Jangankan kehidupan mereka, nama tetangga sebelah rumah saja, aku tak tahu. Aku menarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan pelan-pelan, sambil menahan agar genangan air mata di pelupuk mataku tak tumpah di hadapan gadis malang ini.

Aku segera berlari ke dalam rumah dan membungkus tiga bungkus nasi dengan lauk pauk seadanya. Aku membungkus bungkusan-bungkusan itu dengan air mata yang membasahi pipi. Kemudian aku kembali ke depan rumah untuk kuberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka.

********************************

Hari ini aku menikmati senja dan dengan harapan aku dapat bertemu mereka kembali. Mereka... tiga orang bocah kecil yang membongkar kembali rasa sosialku yang telah lama tertanam kesibukan diri sendiri.

Senja kali ini, aku memperhatikan mereka kembali melakukan aktivitas seperti biasanya, yaitu meminta nasi basi. Tetapi sore ini emosiku naik, aku sangat marah. Aku melihat mereka di usir dengan anjing penjaga. Kasihan sekali mereka. Aku hanya dapat melihat dari jauh dua bocah laki-laki yang ikut bersama gadis kecil itu menangis sesenggukan. Entah apa yang membuat mereka menangis, apakah karena diusir secara tidak manusiawi dengan anjing penjaga, atau karena mereka tidak dapat nasi basi untuk mengisi perut mereka hari ini. Ingin sekali aku memanggil mereka ke rumahku untuk kuberikan makan. Tetapi, mereka telah berjalan menjauh ke rumah yang lainnya. Tiga bocah yang malang. Semoga hari ini mereka dapat mengisi perut dengan makanan yang tidak basi. Senjaku pun menampakkan warna sendu.

*******************************

Sampai hari ini pun benakku masih dipenuhi oleh bayang-bayang tiga bocah peminta-minta nasi basi. Aku jadi berfikir, dimana orang tua mereka? Tega sekali membiarkan anak-anak sekecil itu harus melawan kerasnya kehidupan hanya untuk mengisi perut walaupun dengan nasi basi. Hal ini pun menjadi suatu kritik bagi diriku sendiri. Aku yang sering menyisakan nasi saat makan, aku yang sering tidak menghargai betapa berharganya sesuap nasi untuk orang-orang seperti mereka, dan aku yang ternyata tak pernah peduli pada sesama. “Maafkan aku, Tuhan...” ucapku sedih.

Senjaku semakin terlihat murung, namun aku tetap setia menikmatinya. Aku menikmati senja sore ini di bangku taman perumahan yang letaknya hanya satu blok dari rumahku. Aku duduk termenung menatap senja dengan hati yang galau. Dadaku bergemuruh menanyakan apa yang sedang gadis kecil itu lakukan bersama kedua adiknya? Air mataku kembali mengalir.

Setelah kuseka sisa-sisa air mata di ujung pelupuk mataku, aku berdiri untuk segera beranjak pulang. Namun aku tertegun sejenak saat mataku bertatapan dengan gadis kecil itu. Aku bertemu dengannya. Hanya dia. Tanpa kedua adiknya. Ia menatapku dengan ekspresi yang tak dapat kumengerti maksudnya. Tatapannya kosong, tapi entah apa yang dipikirkan olehnya. Aku segera memalingkan muka, tak kuasa memandang sorot mata gadis kecil itu.

“Maafkan aku, gadis kecil... aku tak dapat berbuat banyak,” ucapku dalam hati. Kemudian aku melangkahkan kaki dengan gontai, setelah sempat memberikan senyum padanya.

**********************************

Sambil menikmati senja kali ini, aku bertekad kuat untuk menemui tiga bocah peminta-minta nasi basi itu. Aku ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kehidupan mereka. Dimana rumahnya, dimana orang tua mereka, dengan siapa mereka tinggal, mengapa mereka meminta-minta, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang akan aku tanyakan.

Namun, sore ini aku hanya bertemu dengan gadis kecil itu. Seperti hari kemarin, ia hanya sendiri. Ia membawa segenggam sapu lidi jelek. Tanpa membuang waktu, aku memanggilnya.

“Lho kok sendirian? Kemana dua adikmu yang lain,dik..?” tanyaku.

“Adik saya yang paling kecil sedang sakit. Jadi hari ini saya sendiri,” Jawabnya polos.

“Ooo... trus sapu lidi ini mau di buat apa tho, dik...?” tanyaku lagi.

“Sore ini saya mau kerja, kak... saya mau nyari rumah yang halamannya kotor, biar bisa saya sapu trus nanti saya dapat uang,” katanya dengan nada bergetar. Aku penasaran mengapa gadis kecil ini begitu sedih saat menjawab pertanyaan kedua-ku.

Aku pun bertanya lagi, “Ada apa..? kok kayaknya kamu sedih?”. Entah apa yang salah dengan pertanyaanku, gadis kecil itu mulai mengucurkan air mata hingga ia terisak. Aku menjadi serba salah. Di sela-sela isakannya, dia menjawab dengan terbata-bata, “Adik saya sakit kak... saya harus dapat uang buat beli obat,”

Batinku tersiksa mendengar penuturan gadis kecil ini. Ia terlalu lugu untuk menanggung beban hidup tiga orang sekaligus.

*********************************

Aku berjalan dengan kepala tertunduk dibawah sinar senja hingga membentuk bayangan diriku. Pikiranku beberapa hari ini berkecamuk memikirkan nasib gadis kecil peminta-minta nasi basi. Selalu ada ‘sesuatu’ entah apa yang terus memacu diriku untuk segera menemuinya dan menolong mereka sesuai dengan kemampuanku.

Sebenarnya orang-orang dan anak-anak seperti gadis kecil itu sering aku temui dalam setiap sudut kota negriku. Namun, aku tak pernah peduli. Karena pikiran kotorku sering mengatakan bahwa mereka berada dibawah perintah “seseorang” yang mengajarkan untuk meminta-minta dan hasilnya wajib disetorkan. Untuk alasan itu aku tak pernah merasa pusing dengan kehadiran mereka, toh mereka pun hanya bersandiwara agar dikasihani. Tetapi berbeda, jika aku melihat gadis kecil peminta-minta nasi basi. Ia terlihat jujur, masih sangat kecil, polos, dan lugu.

Seharusnya gadis kecil seperti dia sekarang sedang menikmati saat-saat tumbuh dan bersenang-senang dengan masa kecilnya. Bukan malah meminta-minta nasi basi untuk mengisi perut demi mempertahankan hidup.

Seketika, aku melihat gerombolan orang di bawah jembatan Fly Over. Mereka berdesak-desakan untuk melihat apa yang terjadi di bawah jembatan tersebut. Hal ini mengundang penasaranku. Aku pun jadi terpacu untuk melihat langsung apa yang menjadi tontonan disitu.

“Ada apa tho Pak..? kok ini pada desak-desakan..?” tanyaku pada seorang bapak yang sepertinya juga penasaran seperti diriku.

“Anu mbak, katanya ada anak kecil yang meninggal karena busung lapar,” Jawabnya.

Deg! Apalagi ini...? pikiranku langsung melayang pada seorang gadis peminta-minta nasi basi. Beberapa hari yang lalu ia sesengukan dan menceritakan padaku bahwa adiknya sedang sakit.

Tak menunggu lama, aku segera menerobos kerumunan itu dan setelah berhasil hingga barisan depan. Nanar mataku. Seketika bulu kudukku berdiri, aku deg-degan, terperanjat dan mataku berkaca-kaca. “Ya Tuhan...! anak yang meninggal karena busung lapar itu adalah adik dari gadis kecil peminta-minta nasi basi,” kataku dalam hati. Air mataku pun mengalir. Miris.

Kepalaku semakin berdenyut-denyut. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis kecil peminta-minta nasi basi itu? Air mataku hanya bisa mengalir deras sambil melihat gadis kecil itu memeluk adik laki-lakinya yang berusia dua tahun yang telah terbujur kaku dengan perut yang membengkak. Ia menangis meraung-raung dan berteriak-teriak dengan suara putus asa.

“Ya Allah... aku salah apa...? Mengapa Allah tega ngambil adik aku...? Mengapa Ya Allah...? Aku nggak pernah nyuri, nggak pernah bohong, tapi kenapa Allah ngambil adik aku...? Huhuhu...” Jeritnya menyayat hati. Kemudian Ia tetap berceloteh, tapi kali ini dengan suara yang lirih, “Padahal aku udah berusaha buat ngasih adik makan, tapi nggak ada yang baik, nggak ada yang peduli, mereka hanya mau ngasih aku nasi basi, jadi aku hanya bisa ngasih adik makan nasi basi...”

Sungguh, kali ini aku pun menangis sesenggukan. Dan bukan aku saja yang menangis di bawah jembatan Fly Over itu. Beberapa yang terharu pun menitikkan air mata. Satu-satu dari kerumunan orang ini pun berlalu. Kemudian beberapa orang yang masih ada di bawah jembatan Fly Over tersebut mencoba untuk menenangkan gadis peminta-minta nasi basi itu dan membawa jenazah adiknya.

Aku sendiri masih terpaku, ditempat aku berdiri melihat gadis kecil tadi meraung-raung. Aku marah. Marah sekali pada diriku. Mengapa aku tak begitu peduli pada mereka? Aku pun marah pada pemerintah yang tak pernah berhasil melindungi setiap warga negaranya, yang tak pernah berhasil memberikan kehidupan yang layak, yang tak pernah berhasil mengemban amanah yang diberikan rakyat. Sungguh, aku pun sedih tinggal di negara seperti ini.

Pelan-pelan aku membalikkan badan meninggalkan kerumunan orang. Hatiku pilu. Senja yang seharusnya bisa selalu mendamaikan hatiku, yang seharusnya terlihat cerah karena warna cerianya, dan yang seharusnya dapat kunikmati seperti hari-hari sebelumnya, namun sore ini senja yang kutemui hanyalah senja yang menjadi saksi bisu, ia menyimpan satu cerita lagi, kali ini kisah gadis kecil peminta-minta nasi basi. Tak selamanya senja memamerkan keindahannya di sore, karena terkadang senja pun menyiratkan sebuah ironi akan kesedihan hati yang telah redup pada sinar keceriaan.

“Sayangnya senja itu bukan miliknya,” Ucapku lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar